Clowy masih dengan penasaran yang sama dengannku. Ia mendekat dan mengendus-endus kedua paket tersebut.
Paket pertama, aku bukanya perlahan. Aku temukan isinya sepasang sepatu, lebih tepatnya high heels. What? Siapa orang sok tau yang gaya-gayaan ngasih hadiah ginian. Aku menelitinya, ukurannya sepertinya pas di kakiku. Warnanya silver. Haknya tidak terlalu tinggi, tapi tetap saja aku ini perempuan yang tidak ditakdirkan berbakat mengenakan sepatu high heels.
Lalu aku lanjutkan dengan paket yang kedua, box dari paket ini sedikit lebih besar dari yang pertama. Bungkusnya terlihat rapi dan manis. Setelah membuka kertas kado dari box tersebut, kutemukan secarik kertas diatasnya tertulis;
Kubuka box tersebut, ternyata isinya sebuah gaun atau mini dress atau apalah itu. Warnanya merah menyala, tinggi gaunnya sekitar diatas lututku. Tetapi ditambah bahan panjang yang menjuntai dibelakang gaun ini yang sepertinya untuk menutupi bagian belakang tubuhku jika aku gunakan nanti. Gaun yang simple namun cantik.
Aku tersenyum. Sudah lama sepertinya aku tidak merasakan kejutan manis seperti ini. Tapi.. wait! Siapa yang mengirimkannya? Clowy duduk tenang di sampingku, mungkin dia juga terheran kedua paket itu bukan untuknya.
Aku berpikir lagi, mengingat-ingat kembali. Siapakah yang kira-kira mengirimkan kedua paket ini untukku. Tanpa disadari tubuhku berdiri, berjalan mondar-mandir di ruang tengah seperti seseorang yang linglung. Clowy menatapku heran. Aku berpikir keras, dari siapa kedua kado manis ini? Ah. Dari dulu aku sangat tidak suka dibuat penasaran.
Mungkin kamu mengira, kedua kado ini adalah dari gebetan atau teman dekatku. Memang aku punya banyak teman lelaki, tapi tak ada satupun dari mereka yang mencoba mendekatkanku. Karena mereka tau itu akan percuma. Lalu siapa?
Jam 9 pagi ini, aku sudah sampai di kantor. Dari parkiran, lobby sampai di lift tadi, semua orang bersikap ramah padaku hari ini. Tumben. Masa iya semua orang itu tau kalau hari ini, hari ulang tahunku?
Lalu sampailah aku di lantai 7, ketika pintu lift terbuka aku terkejut. Tidak ada satu orang pun disini. Ruangan kantorku kosong. Tetapi ada beberapa tangkai bunga mawar di lantai. Bunga-bunga itu terjatuh rapi, atau memang sengaja ditaruh di bawah. Seolah menunjukan jalan kepadaku. Aku mengikuti bunga-bunga yang betebaran itu, hingga kutemukan tangkai bunga mawar terakhir di depan pintu ruanganku dan aku membukanya.
Ruanganku penuh sesak, diisi sebagian atau mungkin seluruh karyawan kantor. Mereka semua ternyata berkumpul di ruanganku. Lalu mereka menyambutku dengan pelukan-pelukan (oleh teman perempuanku, pastinya). Aku sangat bersyukur mereka membanjiriku dengan doa-doa yang aku aminkan dalam hati.
Fyi, sudah menjadi tradisi di kantorku tiap-tiap karyawannya yang ulang tahun pasti saling memberi kejutan.
Mereka masih mengelilingku, untuk bersalaman, sekedar mengucapkan selamat, dan minta traktiran. Sesuatu mengganggu fokusku sedari tadi, aku melihat ke arah meja kerjaku. Disana, tertata kue tart atau kue ulang tahun. Tapi bukan itu yang menggangguku, tapi sesuatu di sebelahnya. Ada sebucket bunga mawar disana, belum kutaruh beberapa tangkai bunga mawar ditanganku ini,sudah kugenggam lagi bucket bunga mawar itu. Cantiknya.
Dengan bantuan Dona, rekan kerjaku. Aku memotong-motong kue tart yang berbentuk persegi rasa vanilla dengan hiasan cerry bertulisan "Selamat bertambah tua, Jomblo addict!" (ya, tulisannya sengaja dibuat menjengkelkan), lalu aku bagian kepada mereka-mereka yang sudah tidak sabar menunggu.
"Thanks ya semuanya, duh terharu nih gw. Dimakan ya kuenya, btw ini yang bikin tulisannya minta dijitak banget." Seruku kepada mereka yang sedang menikmati kue tersebut.
"Itu kerjaannya si Tommy, Ghe." Jawab salah seorang dari mereka.
"Nah, tuh bocah sekarang dimana?" Tanyaku yang baru tersadar, Tommy tidak ada disini.
"Biasa, kesiangan kali." Jawabnya lagi.
"Traktirannya, di kantin Bu Desi aja ya. Makan ayam penyet aja, nanti bilang gw yang bayar. Tapi satu orang jatahnya satu, gak boleh nambah!" Sudah jadi tradisi juga traktiran ulang tahun dinikmati di kantin Bu Desi atau kantin soto ayam Pak Gus, tapi karena warung Pak Gus sedang libur pasti mereka mengincar kantin ayam penyetnya Bu Desi.
"Oke."
"Siap!."
"Aldo tuh yang suka nambah."
"Enak aja lu,"
Lalu mereka saut-sautan seisi ruangan, aku kembali terpaku ke bunga-bunga mawar tadi. Beberapa menit kemudian, mereka bubar dan kembali ke ruangan kerjanya masing-masing.
"Hai! Happy birthday man!" Sapa seseorang sambil menepuk pundakku, membuatku kaget.
"Eh elo, telat ah lo datenganya. Btw makasih ya," Jawabku sambil menghadap ke arahnya dan membalas salam tangannya.
"Hehe kesiangan gw, Ghe. Padahal dari tadi anak-anak udah pada telponin gw. Emang dasarnya aja gw kebo, ga bangun deh. Sorry ya, panjang umur ya Ghe jangan lupa traktiran." Jelasnya seraya mengacak-acak rambutku.
Dia adalah Tommy, teman, rekan, sahabat, sekaligus seperti abangku sendiri di kantor ini. Dia sama seperti aku, seorang editor. Di kantor penerbit buku, yang kebanyakan memproduksi novel ini. Aku dan Tommy sudah bekerja bersama selama lima tahun di kantor ini. Umurnya dua tahun di atasku, tapi sifat kekanakannya melebihi anak SMA. Dia bawel, cerewet, perhatian, baik, ngeselin, usil, tapi dia selalu ada untukku. Beberapa bulan lagi, Tommy menikah. Dengan seorang make up artist yang sangat bertalenta, Mba Sonya, begitu aku memanggil pacarnya.
Kebetulan Tommy adalah teman satu ruangku, lekas aku tanya perihal bunga-bunga ini.
"Tom, tumben deh gw dikasih bunga segini banyak sama anak-anak." tanyaku seraya mengacukan sebucket bunga itu ke wajanya.
"Heh? Emang ini dari anak-anak?" Dia malah balik tanya kebingungan.
"Terus dari siapa? Nih bunga mawar yang setangkai-tangkai ini gw temuin dari depan pintu lift sampe depan pintu ruangan gw. Kalo ini, yang sebucket ini gw temuin di meja gw."
"Bukan dari kita kok, orang kemarin itu gw yang beliin kado buat elo. Noh kadonya masih di atas meja gw, kalo kue itu mesen terus si Dona yang ngambil tadi pagi. Kita-kita orang cuma patungan buat itu doang. Kalo kado special dari gw ya beda lagi, itu juga lupa gw bawa masih di rumah hehehehe." Jawabnya menjelaskan.
"Terus bunga ini?"
"Mana gw tau, ada yang naksir kali sama lo di kantor ini."
"Tom, please jangan mengada-ada deh. Kebanyakan karyawan kantor ini tuh udah lama, sekalipun yang baru itu juga udah setahun dua tahun kerja disini. Lagian kebanyakan karyawan sini cewek, kalo cowok pasti udah nikah. Paling cuma elu doang yang baru mau merried," Pungkasku sebal.
"Lah, lu lupa? Noh si Boy (panggilan office boy di kantor ini) kan juga cowok, single pula. Kali gitu dia naksir sama elu gara-gara elu suruh beli makanan mulu." Candanya yang membuat aku menajamkan tatapan ke arahnya.
"Nanti gw tanya ah ke anak-anak. Elu mah gak jelas!" Jawabku sambil jalan meninggalkan ruangan.
"Eh Don," Sapaku kepada Dona yang kebetulan lewat ketika aku baru keluar dari ruangan.
"Hm? Kenapa Ghe?" Jawabnya menghampiriku.
"Itu Don, tadi ada bunga banyak banget di depan lift sampe depan ruangan gw terus ada lagi sebucket ini atas meja gw. Dari anak-anak ya?"
"Oh itu Ghe, bukan." Jawabnya sambil mengingat-ingat.
"Terus?"
"Duh gw lupa, coba tanyain si Baim deh dia yang nabur tuh bunga di lantai soalnya."
"Oh gitu, oke Don. Makasih ya.."
"Sip."
Mataku mencari sosok Baim, dia adalah security di kantorku. Masih muda tapi karena ia menikah muda, wajahnya jadi keliatan tua dari umurnya. Ups, ghibah.
"Baim!" Seruku kepada Baim yang ingin pergi dari posnya.
"Oit, kenapa mba?"
"Mau kemana?" tanyaku karena ia seperti tergesa-gesa.
"Anu mba, kebelet. Hehehehe."
"Et, bentar. Gw mau tanya, itu bunga banyak banget dari siapa? Katanya elu yang naburin ke lantai."
"Oh itu mba, tadi pagi ada yang ngirim paket bunga kesini banyak banget. Terus kata kurirnya, ini bunga buat mba Ghea yang ulang tahun hari ini. Nah bunga yang setangkai-tangkai itu dia minta ditaburin sepanjang jalan dari depan pintu lift sampe depan pintu ruangannya mba. Kalo bunga yang gede itu minta ditaro di mejanya mba," Jelasnya .
"Pengirimnya dari siapa?"
"Yah mas tadi ga ngasih tau mba, yang ngirim siapa. Lah saya pikir pasti pacarnya mba lah, siapa lagi coba yang suka ngasih bunga gitu?" Entah Baim ini maksudnya meledek atau memang tidak tau statusku.
"Heh!" Gertakku
"Kenapa mba? Salah ya?"
"Engga-engga, yaudah makasih ya. Sana buru-buru ke toilet, ntar ngompol disini lagi."
"Iya mba hehe sama-sama."
Baim langsung pergi meninggalkanku yang masih terpatung ditempat, aku membalikkan badan dan hendak menuju ruanganku.
"Mba Ghea!" Sahut Baim dari belakang dan agak berteriak.
"Hah?" Jawabku menghadapnya.
"Itu saya baru inget, nama toko yang ngirim bunga itu kalo ga salah namanya 'Red Florist' mba. Toko bunga yang di ujung jalan itu. Tanya aja mba kesana kalau penasaran." Sarannya.
"Oh oke, thanks ya."
"Siap mba."
***
"Lu gak makan, Ghe?" Tommy membuyarkan lamunanku ketika jam sudah menunjukkan waktunya istirahat.
"Eh, udah kenyang gw nyemilin tuh bunga." Candaku.
"Kenapa sih Ghe? Katanya mau nraktir itu anak-anak?"
"Iyah duluan aja, tadi gw udah telpon Bu Desi biar makanan anak-anak gw yang bayar sekalian minta dibuatin tagihan."
"Kok gitu, gak seru ah gak ada yang ulang tahun mah." Tommy kembali duduk, kini ia berada disampingku sambil menatapku.
"Jangan ngeliat gw kaya gitu ah."
"Hahaha, tenang gw gak mungkin naksir sama lo."
"Bukan itu, pea. Kalo lu udah natap gw gitu, seolah-olah lagi nanya gw kenapa."
"Nah tau, terus terus? Kenapa emang? Elu penasaran sama tu bunga? Yaelah anggap aja kali itu secret admirer lu. Seharusnya elu bersyukur ada orang yang masih mau naksir sama elu."
"Bukan, bukan bunga doang Tom. Pagi ini ada dua paketan ke rumah gw."
"Buat Clowy, pasti."
"Heh mana ada orang ngasih paketan ke anjing yang isinya gaun sama sepatu yang seukuran gw?!" Jawabku sebal.
"Lah buat elu dong itu berarti?"
"Ya iya, ga percaya banget lu sama gw."
"Tumben ya Ghe? Gimana rasanya Ghe? Seneng ga?"
"Mulai deh ngeledek."
Mataku masih menatap layar komputer, seolah-olah aku masih fokus pada script kerjaanku. Padahal tidak, pikiranku melayang jauh. Kalo Tommy sendiri aneh dengan adanya hadiah misterius untukku, apalagi aku.
"Dari nyokap lu kali, Ghe?"
"Dia ga pernah seromantis itu."
"Ya kali dia kasian sama anaknya ini, terus pura-pura deh ngadoin gaun, sepatu, bunga buat elu. Biar disangka ada yang suka elu."
"TOMMY!!!!" Teriakku sambil melotot kepadanya.
"Iya Ghe ampun."
"Bantuin gw."
"Hah? Ngapain?"
"Jadi di paket yang dateng ke rumah gw tadi pagi, ada tulisan dari pengirimnya yang nyuruh gw buat dateng sabtu itu ke sebuah kafe yang namanya ga asing bagi gw. Tapi kayanya udah berapa tahun ini gw gak pernah ke kafe itu."
"Hoh, terus?"
"Menurutlu gw dateng ga?"
"Kalo elu penasaran, ya dateng."
"Kalo ternyata itu orang jahat?"
"Mulai deh Ghe, gimana elu ga punya pacar, orang tiap ada yang ngajak kenalan apa ngajak ngedate elu selalu berpikiran negative. Lagian ya Ghe, males banget tau gak sih jahatin cewe galak kaya elo apalagi nyulik cewe yang demen ngemil bakso kaya elo."
"Kan gw takut Tom, gini-gini gw yang paling disayang nyokap gw. Kasian Tom kalo gw kenapa-kenapa ntar dia sedih."
"Iya, Ghe, iya. Udah stop kodenya deh, Sabtu ini lo dateng dan gw temenin. Dah kan?"
"Ya ampun Tom! Ga nyesel gw kenal sama lu." Sepertinya Tommy ini sudah tau atau sudah hapal dengan trikku. Tiap ada cowok yang mengajakku jalan, dia selalu membuntutiku atau sekedar menemani dan berpura-pura sebagai abangku yang over-protektif.
"Kebiasaan lu. Pokoknya ntar lu yang minta izin ke Sonya,"
"Tenang, gw mau ajak Mba Sonya juga. Jadi rencana gw, lu kesana sama Sonya. Lu pura-pura ngedate aja sama dia, ntar gw yang teraktir. Nah tapi jangan sekedar ngedate, lu bantuin gw mata-matain pengunjung di kafe itu. Kalo kira-kira ada yang lu kenal, sebagai mantan gebetan gw yang terdahulu itu lu kasih tau gw deh. Gw stay di mobil aja, gausah turun hehe. Kalo yang dateng ternyata orang yang gak gw suka, gw balik deh."
"Anjirrrrrr Ghe, jahat bener-bener emang lu. Pura-pura melas depan gw, ternyata lu udah punya rencana segitu apiknya di otak lu. Tapi karena elu mau traktir biaya ngedate gw minggu ini, okelah." Ya Tommy gak pernah nolak segala traktiran yang pernah gw kasih kedia, setelah aku beri tugas tentunya.
***
Aku memandangi diriku sendiri di depan cermin. Memakai gaun dan sepatu dari orang yang tidak kuketahui dari siapa, aku merasa bodoh. Aku hempaskan diriku di sofa lagi. Aneh. Entah kenapa aku mau-maunya datang menghampiri dia, yang sok misterius. Tapi cuma ini satu-satunya cara untuk menghilangkan segala penasaranku terhadapnya.
Jam sudah menunjukkan jam tujuh lewat dua puluh menit. Jalanan Jakarta pada malam minggu seperti ini pasti sedang padat-padatnya. Clowy terus menemaniku sedari tadi, ah andai saja aku dapat membawa Clowy kemanapun aku pergi mungkin aku akan merasa lebih tenang. Biasanya kalau aku pergi, Clowy selalu aku titipkan ke Amel, anak dari Ibu Heru yang mempunyai kontrakan ini.
Aku mendekap Clowy erat, hanya dia sekarang yang menemani hari-hariku selama ini. Mungkin aku dan Clowy seharusnya punya satu sosok yang dapat menemani dan menjaga kita berdua.
Tommy bawel sejak satu jam yang lalu, dia dan Mba Sonya sudah sampai ke cafe. Sementara aku masih bermacet ria di jalanan Ibu Kota ini. Jam sudah menunjukkan pukul delapan. Ya, aku telat. Dalam hati aku berkata, untuk siapapun yang menunggu ku disana dan memintaku untuk tidak datang telat, maaf aku harus telat lagi kali ini.
Akhirnya setengah jam berlalu dan aku telah berhasil sampai di cafe itu dengan melewati kemacetan yang parah tadi. Aku memarkirkan mobilku agak jauh dari cafe, karena cafe ini bersebelahan dengan Mall mungkin lebih baik aku memarkirnya di parkiran Mall saja.
"Hallo, Tom? Gw udah sampe nih." Kataku diujung telpon sambil berjalan lambat menuju cafe.
"Eh iya Ghe, ini gw udah amatin dari tadi semua pengunjung cafe kok ga ada yang gw kenal ya?"
"Masa?"
"Iya, daritadi gw mondar-mandir sampe si Sonya bete sama gw."
"Duh! Jangan-jangan itu orang ga dateng? Apa dia cuma ngerjain gw?"
"Yah elah mana gw tau, Ghe. Udah mending sekarang elu kesini dulu aja. Kali aja kan ada yang lu kenal tapi ga gw kenal."
Deng! Jantungku berdegup kencang. Selama ini, semua teman-temanku pasti kenal Tommy. Walaupun cuma cowok iseng, Tommy pasti mengenalinya. Satu-satunya yang tidak Tommy kenali adalah...
"Hallo Ghe?!" Panggilan Tommy membuyarkan lamunanku.
"Eh? Iya?" Jawabku pelan.
"Lu dimana? Jangan bilang elu pulang deh, udah kesini aja. Walaupun itu orang ga jadi dateng kan ada gw sama Sonya."
"Ah bilang aja lu mau traktirannya,"
"Ehehehehehe."
Aku mematikan telponnya. Baiklah aku harus berani menghadapi siapapun itu dia. Walaupun seseorang dari masa laluku.
Aku sudah sampai di depan cafe, pramusaji datang menyapaku.
"Selamat malam, dengan Mba Ghea?" Sapanya membuatku heran.
"Eh iya, saya sendiri." Jawabku seadanya.
"Mba Ghea, sudah ditunggu di ruang outdoor."
"Heh? Oh iya bentar ya aku mau kesana dulu." Aku menghampiri Tommy dan Mba Sonya yang melambai-lambaikan tangan ke arahku.
"Hai Mba Sonya," Aku melayangkan cipika-cipiki ke arahnya.
"Hai, tumben Ghe anggun begini."
"Ehehehehe iya nih mba, iseng."
"Gimana Ghe? Ada orangnya yang kamu cari?"
"Kata mas-mas pelayannya sih aku ditunggu di outdoor belakang."
"Lah? Kok dia kenal elu Ghe? Emang ini cafe ada outdoornya ya?" Tanya Tommy menjengkelkan.
"Huh, katanya udah cari kemana-mana. Ya udah gw ke sana dulu ya, penasaran gw."
"Perlu Tommy ikutin ga, Ghe?" Tanya Mba Sonya menawarkan.
"Gak usah Mba, kalian malem mingguan aja di sini. Nanti kalo itu orang freak, baru deh Ghea gabung sama kalian hehe."
Aku berjalan cepat ke arah tempat orang misterius itu berada. Ketika sampai ke bagian belakang cafe ini, ruangan outdoor yang dimaksud pramusaji tadi. Mataku mengintari seluruh sudutnya. Mencari siapakah orang yang sedang menungguku ini.
Aku mendapati seorang lelaki, yang duduk sendiri membelakangiku. Aku mendekatinya ragu. Perawakannya yang sangat tidak asing. Tangannya yang terpangku di meja. Dan kepalanya yang terus bergerak seperti sedang mencari aku.
Aku memantapkan diri, untuk berdiri di hadapannya. Melihat siapakah dia. Mataku membelalak. Jantungku kembali berdegup kencang. Dia menatapku lalu berdiri dan menyambutku. Beberapa detik, ku temukan diriku mematung di hadapannya. Ia masih tersenyum hangat. Ia bergerak mempersilahkan aku duduk di hadapannya. Aku hanya mengernyitkan dahi, memandangnya heran. Saat itu, satu-satunya yang mau aku lakukan adalah menamparnya. Sungguh. Tapi untung saja aku masih bisa menahannya.
Aku membantingkan tubuhku di bangku hadapannya. Ia terlihat sulit untuk mencari kata yang pas untuk menyapaku, sementara aku tidak sama sekali berniat menyapanya duluan.
"Mamah memang tidak pernah salah memilih." Katanya membuyarkan keheningan pada saat itu. Aku masih terdiam dan menatapnya heran.
"Sepatunya juga ternyata cocok," Katanya lagi setelah mengamati sepatu yang aku gunakan.
"Buat apa?" Akhirnya hanya itu kata-kata yang dapat aku lontarkan ke dia.
"Buat kamu makin cantik." Jawabnya nyeleneh.
"Buat apa kembali lagi ke Indonesia?" Aku menatapnya dengan penuh kebencian.
"Masih ada hati aku yang tertinggal disini dan aku harus membawanya kembali bersamaku." Jawabnya makin nyeleneh.
"Bukan aku."
"Pasti kamu."
"Aku ga pernah berharap gitu."
"Oke, kamu mau makan apa? Oh bentar aku yang pesan, aku masih hapal makanan yang suka kamu pesan di cafe ini." Tawarnya sambil melihat list daftar menu makanan.
"Aku ga makan diatas jam tujuh lagi sekarang."
"Oh? Pantesan kamu lebih kurus sekarang." Ia memandangku dari ujung kaki sampai kepala, aku risih.
"Terus sekarang apa? Aku juga udah kenyang, apa kita jalan-jalan aja? Aku rindu negri ini dan kamu." Lanjutnya.
"Aku mau pulang, terima kasih tawarannya." Tak kusadari aku berani menolaknya seperti itu, aku berdiri tegap dan meninggalkannya tanpa menoleh lagi.
"Apa?" Bentakku, karena dia menarik tanganku dari belakang.
"Jangan pergi, lagi." Ia menarik tubuhku ke pelukannya, aku memberontak keras. Tapi dekapannya lebih keras.
"Aku mohon, jangan ganggu atau hadir lagi dihidupku." Pintaku yang masih didekapannya.
Ia melepas dekapannya, ia memandangku lirih. Aku benci pandangannya. Aku benci bagaimana ia memaksaku dengan pandangan seperti itu. Aku menggelengkan kepala, tak terasa butiran air mata menetes di pipiku. Aku juga membenci bagaimana ia membuatku menangis.
"Aku pernah menyia-nyiakan kamu satu kali, untuk kali ini aku gak akan ngelakuin itu lagi." Katanya. Pengunjung cafe itu padahal cukup ramai, tapi aku atau dia sama sekali tidak mempedulikannya hingga aku cukup risih karena beberapa pasang mata mengamati kami.
"Kita pindah tempat," Aku menarik tangannya ke arah luar cafe. Ketika sampai di depan pintu, Tommy menghadang kami.
"Ghe, ini siapa?" Tanyanya dengan suara yang dinaikkan seolah seperti membentak.
"Gapapa Tom, gw mau pindah tempat. Nanti uangnya gw transfer ya."
"Ghe! Ini bukan masalah uangnya, dia siapa?" Kali ini dia benar membentakku.
"Dia Sam, nanti gw ceritain?" Jawabku cepat dan meninggalkan Tommy yang masih termenung di tempatnya. Aku mendengarnya berkata "Hah? Sam?" sekilas.
Aku mengajaknya, Sam ke basement dimana mobilku terpakir. Aku memutuskan untuk mengobrol di basement saja sambil meninggalkan ia nantinya, jahat memang. Terserah, dia yang meminta.
"Apa?" Tanyaku begitu tiba di depan mobil.
"Apa maaf cukup untuk kamu?"
"Untuk apa?"
"Untuk semua hal yang dulu aku lakuin ke kamu."
"Basi, itu udah lima tahun yang lalu. Jangan ungkit lagi."
"Aku tau kamu benci aku, aku tau kamu gak mau lagi ketemu sama aku. Aku tau kamu berharap aku pergi jauh, aku tau kamu ga akan terima aku lagi. Makanya aku kasih semua kado itu diam-diam dan mengajak kamu ketemu tanpa tau siapa aku."
"Kalau kamu tau, kenapa kamu hadir lagi?"
"Kamu harusnya tau, aku gak pandai menahan rindu."
"Kamu yang seharusnya tau, aku gak suka kamu dateng lagi."
"Aku harus apa?"
"Pergi."
"Lagi?"
"Selamanya." Jawabku asal-asalan.
"Ghe! Yang aku lakuin dulu itu, aku yang dulu. Aku yang sekarang beda, Ghe!"
"Selagi itu adalah kamu, semuanya terlihat sama aja."
"Semuanya berbeda ketika kamu ga ada lagi buat aku, Ghe."
"Aku yakin di banyak cewe cantik dan lebih baik dari aku di Aussie."
"Selagi itu bukan kamu, gak ada yang aku mau lagi."
"Cukup, Sam! Dengan datangnya kamu kesinipun, semuanya sia-sia. Kamu gak perlu dateng dan nyari aku lagi. Semua urusan kita udah clear. Kamu atau aku cukup jadi bagian masa lalu. Terima kasih atas semua kado dan kejutan ini, aku akan lebih bahagia seandainya yang ngasih ini semua bukan kamu." Aku memalingkan tubuhku. Menuju ke dalam mobil dan membelakangi Sam.
"Aku yakin, kamu juga menunggu aku Ghe." Katanya pelan.
"Aku gak pernah menunggu untuk disakiti, lagi."
"And I will never do that, again."
"So I will never believe you, again." Jawabku sambil memandanganya tajam.
Kini, aku sudah berada di dalam mobil. Sam masih berdiri di tempatnya. Aku melajukan mobilku dengan kencang dan penuh perasaan kesal. Sungguh, saat ini aku sangat tidak ingin memperdulikan Sam lagi. Sam yang dulu menjadi pacarku selama beberapa tahun, selagi aku di SMA dan sampai aku lulus kuliah. Sam, cinta pertamaku sekaligus pacar pertama yang menjadi mantan terakhir selama ini. Sam, yang aku sangat cintai dulu dan karena itu dia mudahnya menyakiti aku. Sam, yang memutuskan untuk pindah kerja ke Aussie dan baru berapa minggu di sana ternyata ia menduakan aku. Sam, yang sebenarnya mungkin tidak pernah mencintai aku. Dan Sam, yang membuatku tidak percaya akan cinta lagi.