Jumat, 08 Maret 2019

Dear mas,


Tadi aku merasakan sepi
Aku belum terbiasa seperti ini
Sepi, seperti lorong yang tak berujung
Lalu ada harapan dari yang pernah berkunjung

Aku mencintaimu, dari dulu, katamu memecah keheningan
Seolah membuatku menjadi kepingan
Atas rasa bersalah yang kan selalu menjadi kenangan
Semoga kamu benar adanya akan sebuah harapan

Aku meyakinkanmu, juga diriku
Bahwa tak apa tentang masa lalu
Tentang keterlambatan mencintaimu
Tentang maaf sudah terlalu lama menunggu

Mungkin cinta harus berkelana dulu sebelum akhirnya menemukan tujuan
Mungkin aku harus berlayar dulu sebelum akhirnya kamu jadi haluan

Kita pernah pulang ketempat yang pernah kita anggap rumah
Kita pernah berjuang bersama orang yang kita pikir kan searah
Namun semuanya salah,
Tak penting seberapa lama mereka menetap
Nyatanya kita bukan apa yang seharusnya mereka dekap

Sayang, aku mencintaimu, dari sekarang
Semoga aku tak mengarang
Perihal doaku yang ingin kita kan terus berjuang
This entry was posted in

Rabu, 13 April 2016

Do you believe in love? (PART I)



“DREEETTT, DRRTTTT" Pagi ini aku terbangun karena getaran Handphoneku yang tak ada berhentinya. Tumben Hpku sangat ramai di pagi hari seperti ini tak seperti biasanya. Dengan mata yang masih sangat amat mengantuk aku mencoba mengecek Hpku itu. Aku terkejut. Aih hari ini adalah ulang tahunku, bertambah satu tahun lagi usiaku. Aku resmi berumur 26 tahun hari ini yang berarti sudah lima tahun juga aku menyandang sebagai jomblo, no aku single tepatnya. Pasti sebentar lagi aku akan mendapat kado sindiran dari Ibuku di Surabaya, kado yang seolah-olah mewakilkan ibuku untuk bertanya; Kapan kamu nikah dek?  Dan sekian kalinya juga aku akan menjelaskan kepada Ibu bahwa Tuhan belum sempat mengirimkan jodoh untukku atau masih menimang-nimang kembali lelaki yang cocok untuk hidup bersamaku nanti.
Tak beda dengan Ibu, sahabat-sahabatku juga mengirimkan sederetan doa agar aku cepat menikah. Oh God, kenapa orang-orang masih berpikiran bahwa tujuan akhir kita hidup adalah menikah dan membangun sebuah keluarga. Dan aku adalah sebagian orang yang berpikiran bahwa menikah bukan dari tujuan akhir hidupku masih banyak yang lebih penting dari itu.
Aku membalas satu persatu chat dari mereka, ucapan-ucapan mereka membuat bibirku mengembang bahagia. Dalam hati aku mengaminkan semua doa. Aku turun dari tempat tidur dan menuju ke pintu rumah kontrakanku diiringin dengan gonggongan Clowy, anjing Minipomku yang mengintip ke jendela bertanda ada seseorang di luar.  Aku dapati seorang lelaki yang sepertinya adalah kurir, aku membuka pintu dan menghampirinya. Clowy mengekor di belakang.
“Selamat pagi, mba.” Sapanya
“Iya pagi mas, ada apa ya?”
“Ini mba saya mau nganter paket untuk mba, silahkan ditanda tangani dulu” Pintanya yang membuatku mematung, sejurus kemudian aku mengambil paket itu dan menanda tanganinya.
“Terimakasih ya mba, permisi” Pamitnya sambil meninggalkan aku yang masih mematung. Clowy membuyarkan lamunanku dengan gonggongannya yang seolah penasaran juga dengan isi paket ini, wajar Clowy agresif dengan sebuah bingkisan karena memang biasanya bingkisan itu tertuju untuknya dari Ibuku yang di Surabaya.  Yang biasanya berisi makanan, alat mandi, baju, bahkan boneka untuk Clowy. Ibu memang sangat menyayangi Clowy, anak dari Gress anjing terdahulu yang sudah tiada dan sudah tujuh tahun dirawat Ibu.
Perlahan aku membantingkan tubuhku di sofa, sambil mengamati paket ini. Belum sempat aku membuka, seseorang datang lagi ke rumahku dengan mengetuk pintu. Aku bangkit lagi dan membukakan pintu. Aku terkejut melihat seorang laki-laki yang sepertinya kurir juga tapi berbeda dengan kurir yang sebelumnya.
“Ya mas?”  Ucapku menyapanya karena ia terlihat seperti sedang memastikan alamat yang benar dengan tujuannya
“Dengan Mba Ghea?” Tanyanya sambil melihat nama yang terpampang di atas paket yang dibawanya.
“Iya saya sendiri.”
“Ini ada paket untuk mba, silahkan ditanda tangani bukti penerimaannya”
Aku meraih paket tersebut dan dengan segera menandatangani kertas diatasnya. Dengan ucapan terimakasih untuk kurir itu yang hampir tidak bisa didengar olehku sendiri karena aku terburu-buru ingin mengetahui dua paket macam apa yang pagi-pagi seperti ini bertandang di rumahku. Yang jelas bukan dari Ibu, karena beliau bilang baru mengirim kadoku kemarin dan kemungkinan besok baru sampai di rumah.
Clowy masih dengan penasaran yang sama dengannku. Ia mendekat dan mengendus-endus kedua paket tersebut.
Paket pertama, aku bukanya perlahan. Aku temukan isinya sepasang sepatu, lebih tepatnya high heels. What? Siapa orang sok tau yang gaya-gayaan ngasih hadiah ginian. Aku menelitinya, ukurannya sepertinya pas di kakiku. Warnanya silver. Haknya tidak terlalu tinggi, tapi tetap saja aku ini perempuan yang tidak ditakdirkan berbakat mengenakan sepatu high heels.
Lalu aku lanjutkan dengan paket yang kedua, box dari paket ini sedikit lebih besar dari yang pertama. Bungkusnya terlihat rapi dan manis. Setelah membuka kertas kado dari box tersebut, kutemukan secarik kertas diatasnya tertulis;
"Sabtu ini, di festival caffe. Jika bisa cobalah untuk tidak datang terlambat (lagi), aku tunggu kamu pukul 8 malam. Kamu pasti tau siapa aku ketika melihatku nanti. Dan...... Cobalah untuk tersenyum, aku merindukannya."
Kubuka box tersebut, ternyata isinya sebuah gaun atau mini dress atau apalah itu. Warnanya merah menyala, tinggi gaunnya sekitar diatas lututku. Tetapi ditambah bahan panjang yang menjuntai dibelakang gaun ini yang sepertinya untuk menutupi bagian belakang tubuhku jika aku gunakan nanti. Gaun yang simple namun cantik.
Aku tersenyum. Sudah lama sepertinya aku tidak merasakan kejutan manis seperti ini. Tapi.. wait! Siapa yang mengirimkannya? Clowy duduk tenang di sampingku, mungkin dia juga terheran kedua paket itu bukan untuknya.
Aku berpikir lagi, mengingat-ingat kembali. Siapakah yang kira-kira mengirimkan kedua paket ini untukku. Tanpa disadari tubuhku berdiri, berjalan mondar-mandir di ruang tengah seperti seseorang yang linglung. Clowy menatapku heran. Aku berpikir keras, dari siapa kedua kado manis ini? Ah. Dari dulu aku sangat tidak suka dibuat penasaran.
Mungkin kamu mengira, kedua kado ini adalah dari gebetan atau teman dekatku. Memang aku punya banyak teman lelaki, tapi tak ada satupun dari mereka yang mencoba mendekatkanku. Karena mereka tau itu akan percuma. Lalu siapa?
***
Jam 9 pagi ini, aku sudah sampai di kantor. Dari parkiran, lobby sampai di lift tadi, semua orang bersikap ramah padaku hari ini. Tumben. Masa iya semua orang itu tau kalau hari ini, hari ulang tahunku?
Lalu sampailah aku di lantai 7, ketika pintu lift terbuka aku terkejut. Tidak ada satu orang pun disini. Ruangan kantorku kosong. Tetapi ada beberapa tangkai bunga mawar di lantai. Bunga-bunga itu terjatuh rapi, atau memang sengaja ditaruh di bawah. Seolah menunjukan jalan kepadaku. Aku mengikuti bunga-bunga yang betebaran itu, hingga kutemukan tangkai bunga mawar terakhir di depan pintu ruanganku dan aku membukanya.
"HAPPY BIRTHDAY GHEAAAAAA"
Ruanganku penuh sesak, diisi sebagian atau mungkin seluruh karyawan kantor. Mereka semua ternyata berkumpul di ruanganku. Lalu mereka menyambutku dengan pelukan-pelukan (oleh teman perempuanku, pastinya). Aku sangat bersyukur mereka membanjiriku dengan doa-doa yang aku aminkan dalam hati.
Fyi, sudah menjadi tradisi di kantorku tiap-tiap karyawannya yang ulang tahun pasti saling memberi kejutan.
Mereka masih mengelilingku, untuk bersalaman, sekedar mengucapkan selamat, dan minta traktiran. Sesuatu mengganggu fokusku sedari tadi, aku melihat ke arah meja kerjaku. Disana, tertata kue tart atau kue ulang tahun. Tapi bukan itu yang menggangguku, tapi sesuatu di sebelahnya. Ada sebucket bunga mawar disana, belum kutaruh beberapa tangkai bunga mawar ditanganku ini,sudah kugenggam lagi bucket bunga mawar itu. Cantiknya.
Dengan bantuan Dona, rekan kerjaku. Aku memotong-motong kue tart yang berbentuk persegi rasa vanilla dengan hiasan cerry bertulisan "Selamat bertambah tua, Jomblo addict!" (ya, tulisannya sengaja dibuat menjengkelkan), lalu aku bagian kepada mereka-mereka yang sudah tidak sabar menunggu.
"Thanks ya semuanya, duh terharu nih gw. Dimakan ya kuenya, btw ini yang bikin tulisannya minta dijitak banget." Seruku kepada mereka yang sedang menikmati kue tersebut.
"Itu kerjaannya si Tommy, Ghe." Jawab salah seorang dari mereka.
"Nah, tuh bocah sekarang dimana?" Tanyaku yang baru tersadar, Tommy tidak ada disini.
"Biasa, kesiangan kali." Jawabnya lagi.
"Traktirannya, di kantin Bu Desi aja ya. Makan ayam penyet aja, nanti bilang gw yang bayar. Tapi satu orang jatahnya satu, gak boleh nambah!" Sudah jadi tradisi juga traktiran ulang tahun dinikmati di kantin Bu Desi atau kantin soto ayam Pak Gus, tapi karena warung Pak Gus sedang libur pasti mereka mengincar kantin ayam penyetnya Bu Desi.
"Oke."
"Siap!."
"Aldo tuh yang suka nambah."
"Enak aja lu,"
Lalu mereka saut-sautan seisi ruangan, aku kembali terpaku ke bunga-bunga mawar tadi. Beberapa menit kemudian, mereka bubar dan kembali ke ruangan kerjanya masing-masing.
"Hai! Happy birthday man!" Sapa seseorang sambil menepuk pundakku, membuatku kaget.
"Eh elo, telat ah lo datenganya. Btw makasih ya," Jawabku sambil menghadap ke arahnya dan membalas salam tangannya.
"Hehe kesiangan gw, Ghe. Padahal dari tadi anak-anak udah pada telponin gw. Emang dasarnya aja gw kebo, ga bangun deh. Sorry ya, panjang umur ya Ghe jangan lupa traktiran." Jelasnya seraya mengacak-acak rambutku.
Dia adalah Tommy, teman, rekan, sahabat, sekaligus seperti abangku sendiri di kantor ini. Dia sama seperti aku, seorang editor. Di kantor penerbit buku, yang kebanyakan memproduksi novel ini. Aku dan Tommy sudah bekerja bersama selama lima tahun di kantor ini. Umurnya dua tahun di atasku, tapi sifat kekanakannya melebihi anak SMA. Dia bawel, cerewet, perhatian, baik, ngeselin, usil, tapi dia selalu ada untukku. Beberapa bulan lagi, Tommy menikah. Dengan seorang make up artist yang sangat bertalenta, Mba Sonya, begitu aku memanggil pacarnya.
Kebetulan Tommy adalah teman satu ruangku, lekas aku tanya perihal bunga-bunga ini.
"Tom, tumben deh gw dikasih bunga segini banyak sama anak-anak." tanyaku seraya mengacukan sebucket bunga itu ke wajanya.
"Heh? Emang ini dari anak-anak?" Dia malah balik tanya kebingungan.
"Terus dari siapa? Nih bunga mawar yang setangkai-tangkai ini gw temuin dari depan pintu lift sampe depan pintu ruangan gw. Kalo ini, yang sebucket ini gw temuin di meja gw."
"Bukan dari kita kok, orang kemarin itu gw yang beliin kado buat elo. Noh kadonya masih di atas meja gw, kalo kue itu mesen terus si Dona yang ngambil tadi pagi. Kita-kita orang cuma patungan buat itu doang. Kalo kado special dari gw ya beda lagi, itu juga lupa gw bawa masih di rumah hehehehe." Jawabnya menjelaskan.
"Terus bunga ini?"
"Mana gw tau, ada yang naksir kali sama lo di kantor ini."
"Tom, please jangan mengada-ada deh. Kebanyakan karyawan kantor ini tuh udah lama, sekalipun yang baru itu juga udah setahun dua tahun kerja disini. Lagian kebanyakan karyawan sini cewek, kalo cowok pasti udah nikah. Paling cuma elu doang yang baru mau merried," Pungkasku sebal.
"Lah, lu lupa? Noh si Boy (panggilan office boy di kantor ini) kan juga cowok, single pula. Kali gitu dia naksir sama elu gara-gara elu suruh beli makanan mulu." Candanya yang membuat aku menajamkan tatapan ke arahnya.
"Nanti gw tanya ah ke anak-anak. Elu mah gak jelas!" Jawabku sambil jalan meninggalkan ruangan.
"Eh Don," Sapaku kepada Dona yang kebetulan lewat ketika aku baru keluar dari ruangan.
"Hm? Kenapa Ghe?" Jawabnya menghampiriku.
"Itu Don, tadi ada bunga banyak banget di depan lift sampe depan ruangan gw terus ada lagi sebucket ini atas meja gw. Dari anak-anak ya?"
"Oh itu Ghe, bukan." Jawabnya sambil mengingat-ingat.
"Terus?"
"Duh gw lupa, coba tanyain si Baim deh dia yang nabur tuh bunga di lantai soalnya."
"Oh gitu, oke Don. Makasih ya.."
"Sip."
Mataku mencari sosok Baim, dia adalah security di kantorku. Masih muda tapi karena ia menikah muda, wajahnya jadi keliatan tua dari umurnya. Ups, ghibah.
"Baim!" Seruku kepada Baim yang ingin pergi dari posnya.
"Oit, kenapa mba?"
"Mau kemana?" tanyaku karena ia seperti tergesa-gesa.
"Anu mba, kebelet. Hehehehe."
"Et, bentar. Gw mau tanya, itu bunga banyak banget dari siapa? Katanya elu yang naburin ke lantai."
"Oh itu mba, tadi pagi ada yang ngirim paket bunga kesini banyak banget. Terus kata kurirnya, ini bunga buat mba Ghea yang ulang tahun hari ini. Nah bunga yang setangkai-tangkai itu dia minta ditaburin sepanjang jalan dari depan pintu lift sampe depan pintu ruangannya mba. Kalo bunga yang gede itu minta ditaro di mejanya mba," Jelasnya .
"Pengirimnya dari siapa?"
"Yah mas tadi ga ngasih tau mba, yang ngirim siapa. Lah saya pikir pasti pacarnya mba lah, siapa lagi coba yang suka ngasih bunga gitu?" Entah Baim ini maksudnya meledek atau memang tidak tau statusku.
"Heh!" Gertakku
"Kenapa mba? Salah ya?"
"Engga-engga, yaudah makasih ya. Sana buru-buru ke toilet, ntar ngompol disini lagi."
"Iya mba hehe sama-sama."
Baim langsung pergi meninggalkanku yang masih terpatung ditempat, aku membalikkan badan dan hendak menuju ruanganku.
"Mba Ghea!" Sahut Baim dari belakang dan agak berteriak.
"Hah?" Jawabku menghadapnya.
"Itu saya baru inget, nama toko yang ngirim bunga itu kalo ga salah namanya 'Red Florist' mba. Toko bunga yang di ujung jalan itu. Tanya aja mba kesana kalau penasaran." Sarannya.
"Oh oke, thanks ya."
"Siap mba."
*** 
"Lu gak makan, Ghe?" Tommy membuyarkan lamunanku ketika jam sudah menunjukkan waktunya istirahat.
"Eh, udah kenyang gw nyemilin tuh bunga." Candaku.
"Kenapa sih Ghe? Katanya mau nraktir itu anak-anak?"
"Iyah duluan aja, tadi gw udah telpon Bu Desi biar makanan anak-anak gw yang bayar sekalian minta dibuatin tagihan."
"Kok gitu, gak seru ah gak ada yang ulang tahun mah." Tommy kembali duduk, kini ia berada disampingku sambil menatapku.
"Jangan ngeliat gw kaya gitu ah."
"Hahaha, tenang gw gak mungkin naksir sama lo."
"Bukan itu, pea. Kalo lu udah natap gw gitu, seolah-olah lagi nanya gw kenapa."
"Nah tau, terus terus? Kenapa emang? Elu penasaran sama tu bunga? Yaelah  anggap aja kali itu secret admirer lu. Seharusnya elu bersyukur ada orang yang masih mau naksir sama elu."
"Bukan, bukan bunga doang Tom. Pagi ini ada dua paketan ke rumah gw."
"Buat Clowy, pasti."
"Heh mana ada orang ngasih paketan ke anjing yang isinya gaun sama sepatu yang seukuran gw?!" Jawabku sebal.
"Lah buat elu dong itu berarti?"
"Ya iya, ga percaya banget lu sama gw."
"Tumben ya Ghe? Gimana rasanya Ghe? Seneng ga?"
"Mulai deh ngeledek."
Mataku masih menatap layar komputer, seolah-olah aku masih fokus pada script kerjaanku. Padahal tidak, pikiranku melayang jauh. Kalo Tommy sendiri aneh dengan adanya hadiah misterius untukku, apalagi aku.
"Dari nyokap lu kali, Ghe?"
"Dia ga pernah seromantis itu."
"Ya kali dia kasian sama anaknya ini, terus pura-pura deh ngadoin gaun, sepatu, bunga buat elu. Biar disangka ada yang suka elu."
"TOMMY!!!!" Teriakku sambil melotot kepadanya.
"Iya Ghe ampun."
 "Bantuin gw."
"Hah? Ngapain?"
"Jadi di paket yang dateng ke rumah gw tadi pagi, ada tulisan dari pengirimnya yang nyuruh gw buat dateng sabtu itu ke sebuah kafe yang namanya ga asing bagi gw. Tapi kayanya udah berapa tahun ini gw gak pernah ke kafe itu."
"Hoh, terus?"
"Menurutlu gw dateng ga?"
"Kalo elu penasaran, ya dateng."
"Kalo ternyata itu orang jahat?"
"Mulai deh Ghe, gimana elu ga punya pacar, orang tiap ada yang ngajak kenalan apa ngajak ngedate elu selalu berpikiran negative. Lagian ya Ghe, males banget tau gak sih jahatin cewe galak kaya elo apalagi nyulik cewe yang demen ngemil bakso kaya elo."
"Kan gw takut Tom, gini-gini gw yang paling disayang nyokap gw. Kasian Tom kalo gw kenapa-kenapa ntar dia sedih."
"Iya, Ghe, iya. Udah stop kodenya deh, Sabtu ini lo dateng dan gw temenin. Dah kan?"
"Ya ampun Tom! Ga nyesel gw kenal sama lu." Sepertinya Tommy ini sudah tau atau sudah hapal dengan trikku. Tiap ada cowok yang mengajakku jalan, dia selalu membuntutiku atau sekedar menemani dan berpura-pura sebagai abangku yang over-protektif.
"Kebiasaan lu. Pokoknya ntar lu yang minta izin ke Sonya,"
"Tenang, gw mau ajak Mba Sonya juga. Jadi rencana gw, lu kesana sama Sonya. Lu pura-pura ngedate aja sama dia, ntar gw yang teraktir. Nah tapi jangan sekedar ngedate, lu bantuin gw mata-matain pengunjung di kafe itu. Kalo kira-kira ada yang lu kenal, sebagai mantan gebetan gw yang terdahulu itu lu kasih tau gw deh. Gw stay di mobil aja, gausah turun hehe. Kalo yang dateng ternyata orang yang gak gw suka, gw balik deh."
"Anjirrrrrr Ghe, jahat bener-bener emang lu. Pura-pura melas depan gw, ternyata lu udah punya rencana segitu apiknya di otak lu. Tapi karena elu mau traktir biaya ngedate gw minggu ini, okelah." Ya Tommy gak pernah nolak segala traktiran yang pernah gw kasih kedia, setelah aku beri tugas tentunya.
*** 
Aku memandangi diriku sendiri di depan cermin. Memakai gaun dan sepatu dari orang yang tidak kuketahui dari siapa, aku merasa bodoh. Aku hempaskan diriku di sofa lagi. Aneh. Entah kenapa aku mau-maunya datang menghampiri dia, yang sok misterius. Tapi cuma ini satu-satunya cara untuk menghilangkan segala penasaranku terhadapnya.
Jam sudah menunjukkan jam tujuh lewat dua puluh menit. Jalanan Jakarta pada malam minggu seperti ini pasti sedang padat-padatnya. Clowy terus menemaniku sedari tadi, ah andai saja aku dapat membawa Clowy kemanapun aku pergi mungkin aku akan merasa lebih tenang. Biasanya kalau aku pergi, Clowy selalu aku titipkan ke Amel, anak dari Ibu Heru yang mempunyai kontrakan ini.
Aku mendekap Clowy erat, hanya dia sekarang yang menemani hari-hariku selama ini. Mungkin aku dan Clowy seharusnya punya satu sosok yang dapat menemani dan menjaga kita berdua.
Tommy bawel sejak satu jam yang lalu, dia dan Mba Sonya sudah sampai ke cafe. Sementara aku masih bermacet ria di jalanan Ibu Kota ini. Jam sudah menunjukkan pukul delapan. Ya, aku telat. Dalam hati aku berkata, untuk siapapun yang menunggu ku disana dan memintaku untuk tidak datang telat, maaf aku harus telat lagi kali ini.
Akhirnya setengah jam berlalu dan aku telah berhasil sampai di cafe itu dengan melewati kemacetan yang parah tadi. Aku memarkirkan mobilku agak jauh dari cafe, karena cafe ini bersebelahan dengan Mall mungkin lebih baik aku memarkirnya di parkiran Mall saja.
"Hallo, Tom? Gw udah sampe nih." Kataku diujung telpon sambil berjalan lambat menuju cafe.
"Eh iya Ghe, ini gw udah amatin dari tadi semua pengunjung cafe kok ga ada yang gw kenal ya?"
"Masa?"
"Iya, daritadi gw mondar-mandir sampe si Sonya bete sama gw."
"Duh! Jangan-jangan itu orang ga dateng? Apa dia cuma ngerjain gw?"
"Yah elah mana gw tau, Ghe. Udah mending sekarang elu kesini dulu aja. Kali aja kan ada yang lu kenal tapi ga gw kenal."
Deng! Jantungku berdegup kencang. Selama ini, semua teman-temanku pasti kenal Tommy. Walaupun cuma cowok iseng, Tommy pasti mengenalinya. Satu-satunya yang tidak Tommy kenali adalah...
"Hallo Ghe?!" Panggilan Tommy membuyarkan lamunanku.
"Eh? Iya?" Jawabku pelan.
"Lu dimana? Jangan bilang elu pulang deh, udah kesini aja. Walaupun itu orang ga jadi dateng kan ada gw sama Sonya."
"Ah bilang aja lu mau traktirannya,"
"Ehehehehehe."
Aku mematikan telponnya. Baiklah aku harus berani menghadapi siapapun itu dia. Walaupun seseorang dari masa laluku.
Aku sudah sampai di depan cafe, pramusaji datang menyapaku.
"Selamat malam, dengan Mba Ghea?" Sapanya membuatku heran.
"Eh iya, saya sendiri." Jawabku seadanya.
"Mba Ghea, sudah ditunggu di ruang outdoor."
"Heh? Oh iya bentar ya aku mau kesana dulu." Aku menghampiri Tommy dan Mba Sonya yang melambai-lambaikan tangan ke arahku.
"Hai Mba Sonya," Aku melayangkan cipika-cipiki ke arahnya.
"Hai, tumben Ghe anggun begini."
"Ehehehehe iya nih mba, iseng."
"Gimana Ghe? Ada orangnya yang kamu cari?"
"Kata mas-mas pelayannya sih aku ditunggu di outdoor belakang."
"Lah? Kok dia kenal elu Ghe? Emang ini cafe ada outdoornya ya?" Tanya Tommy menjengkelkan.
"Huh, katanya udah cari kemana-mana. Ya udah gw ke sana dulu ya, penasaran gw."
"Perlu Tommy ikutin ga, Ghe?" Tanya Mba Sonya menawarkan.
"Gak usah Mba, kalian malem mingguan aja di sini. Nanti kalo itu orang freak, baru deh Ghea gabung sama kalian hehe."
Aku berjalan cepat ke arah tempat orang misterius itu berada. Ketika sampai ke bagian belakang cafe ini, ruangan outdoor yang dimaksud pramusaji tadi. Mataku mengintari seluruh sudutnya. Mencari siapakah orang yang sedang menungguku ini.
Aku mendapati seorang lelaki, yang duduk sendiri membelakangiku. Aku mendekatinya ragu. Perawakannya yang sangat tidak asing. Tangannya yang terpangku di meja. Dan kepalanya yang terus bergerak seperti sedang mencari aku.
Aku memantapkan diri, untuk berdiri di hadapannya. Melihat siapakah dia. Mataku membelalak. Jantungku kembali berdegup kencang. Dia menatapku lalu berdiri dan menyambutku. Beberapa detik, ku temukan diriku mematung di hadapannya. Ia masih tersenyum hangat. Ia bergerak mempersilahkan aku duduk di hadapannya. Aku hanya mengernyitkan dahi, memandangnya heran. Saat itu, satu-satunya yang mau aku lakukan adalah menamparnya. Sungguh. Tapi untung saja aku masih bisa menahannya.
Aku membantingkan tubuhku di bangku hadapannya. Ia terlihat sulit untuk mencari kata yang pas untuk menyapaku, sementara aku tidak sama sekali berniat menyapanya duluan.
"Mamah memang tidak pernah salah memilih." Katanya membuyarkan keheningan pada saat itu. Aku masih terdiam dan menatapnya heran.
"Sepatunya juga ternyata cocok," Katanya lagi setelah mengamati sepatu yang aku gunakan.
"Buat apa?" Akhirnya hanya itu kata-kata yang dapat aku lontarkan ke dia.
"Buat kamu makin cantik." Jawabnya nyeleneh.
"Buat apa kembali lagi ke Indonesia?" Aku menatapnya dengan penuh kebencian.
"Masih ada hati aku yang tertinggal disini dan aku harus membawanya kembali bersamaku." Jawabnya makin nyeleneh.
"Bukan aku."
"Pasti kamu."
"Aku ga pernah berharap gitu."
"Oke, kamu mau makan apa? Oh bentar aku yang pesan, aku masih hapal makanan yang suka kamu pesan di cafe ini." Tawarnya sambil melihat list daftar menu makanan.
"Aku ga makan diatas jam tujuh lagi sekarang."
"Oh? Pantesan kamu lebih kurus sekarang." Ia memandangku dari ujung kaki sampai kepala, aku risih.
"Terus sekarang apa? Aku juga udah kenyang, apa kita jalan-jalan aja? Aku rindu negri ini dan kamu." Lanjutnya.
"Aku mau pulang, terima kasih tawarannya." Tak kusadari aku berani menolaknya seperti itu, aku berdiri tegap dan meninggalkannya tanpa menoleh lagi.
"Apa?" Bentakku, karena dia menarik tanganku dari belakang.
"Jangan pergi, lagi." Ia menarik tubuhku ke pelukannya, aku memberontak keras. Tapi dekapannya lebih keras.
"Aku mohon, jangan ganggu atau hadir lagi dihidupku." Pintaku yang masih didekapannya.
Ia melepas dekapannya, ia memandangku lirih. Aku benci pandangannya. Aku benci bagaimana ia memaksaku dengan pandangan seperti itu. Aku menggelengkan kepala, tak terasa butiran air mata menetes di pipiku. Aku juga membenci bagaimana ia membuatku menangis.
"Aku pernah menyia-nyiakan kamu satu kali, untuk kali ini aku gak akan ngelakuin itu lagi." Katanya. Pengunjung cafe itu padahal cukup ramai, tapi aku atau dia sama sekali tidak mempedulikannya hingga aku cukup risih karena beberapa pasang mata mengamati kami.
"Kita pindah tempat," Aku menarik tangannya ke arah luar cafe. Ketika sampai di depan pintu, Tommy menghadang kami.
"Ghe, ini siapa?" Tanyanya dengan suara yang dinaikkan seolah seperti membentak.
"Gapapa Tom, gw mau pindah tempat. Nanti uangnya gw transfer ya."
"Ghe! Ini bukan masalah uangnya, dia siapa?" Kali ini dia benar membentakku.
"Dia Sam, nanti gw ceritain?" Jawabku cepat dan meninggalkan Tommy yang masih termenung di tempatnya. Aku mendengarnya berkata "Hah? Sam?" sekilas.
Aku mengajaknya, Sam ke basement dimana mobilku terpakir. Aku memutuskan untuk mengobrol di basement saja sambil meninggalkan ia nantinya, jahat memang. Terserah, dia yang meminta.
"Apa?" Tanyaku begitu tiba di depan mobil.
"Apa maaf cukup untuk kamu?"
"Untuk apa?"
"Untuk semua hal yang dulu aku lakuin ke kamu."
"Basi, itu udah lima tahun yang lalu. Jangan ungkit lagi."
"Aku tau kamu benci aku, aku tau kamu gak mau lagi ketemu sama aku. Aku tau kamu berharap aku pergi jauh, aku tau kamu ga akan terima aku lagi. Makanya aku kasih semua kado itu diam-diam dan mengajak kamu ketemu tanpa tau siapa aku."
"Kalau kamu tau, kenapa kamu hadir lagi?"
"Kamu harusnya tau, aku gak pandai menahan rindu."
"Kamu yang seharusnya tau, aku gak suka kamu dateng lagi."
"Aku harus apa?"
"Pergi."
"Lagi?"
"Selamanya." Jawabku asal-asalan.
"Ghe! Yang aku lakuin dulu itu, aku yang dulu. Aku yang sekarang beda, Ghe!"
"Selagi itu adalah kamu, semuanya terlihat sama aja."
"Semuanya berbeda ketika kamu ga ada lagi buat aku, Ghe."
"Aku yakin di banyak cewe cantik dan lebih baik dari aku di Aussie."
"Selagi itu bukan kamu, gak ada yang aku mau lagi."
"Cukup, Sam! Dengan datangnya kamu kesinipun, semuanya sia-sia. Kamu gak perlu dateng dan nyari aku lagi. Semua urusan kita udah clear. Kamu atau aku cukup jadi bagian masa lalu. Terima kasih atas semua kado dan kejutan ini, aku akan lebih bahagia seandainya yang ngasih ini semua bukan kamu." Aku memalingkan tubuhku. Menuju ke dalam mobil dan membelakangi Sam.
"Aku yakin, kamu juga menunggu aku Ghe." Katanya pelan.
"Aku gak pernah menunggu untuk disakiti, lagi."
"And I will never do that, again."
"So I will never believe you, again." Jawabku sambil memandanganya tajam.
Kini, aku sudah berada di dalam mobil. Sam masih berdiri di tempatnya. Aku melajukan mobilku dengan kencang dan penuh perasaan kesal. Sungguh, saat ini aku sangat tidak ingin memperdulikan Sam lagi. Sam yang dulu menjadi pacarku selama beberapa tahun, selagi aku di SMA dan sampai aku lulus kuliah. Sam, cinta pertamaku sekaligus pacar pertama yang menjadi mantan terakhir selama ini. Sam, yang aku sangat cintai dulu dan karena itu dia mudahnya menyakiti aku. Sam, yang memutuskan untuk pindah kerja ke Aussie dan baru berapa minggu di sana ternyata ia menduakan aku. Sam, yang sebenarnya mungkin tidak pernah mencintai aku. Dan Sam, yang membuatku tidak percaya akan cinta lagi.

Selasa, 22 Maret 2016

Dimulai dari senja itu




Senja itu, kami bertatap muka di bibir pantai utara, tempat biasa kami bertemu. Tapi entah mengapa, seperti berbeda dari biasanya. Mungkin sekitar 30 menit lamanya, kami berdiam saja. Aku beberapa kali mengubah posisi dudukku disampingnya. Bukan, bukan karena tidak nyaman akan posisinya tapi untuk menghilangkan resah yang sedari tadi menghinggap dipikiranku.
Gio, laki-laki yang disampingku ini. Yang tak lain adalah pacarku sedari sekolah menengah atas dulu, hanya terdiam terpaku menatap lurus ke pantai. Bukannya kami sengaja berdiaman seperti itu untuk menikmati senja, tapi sebenarnya kami terlalu berat untuk mengawali perbincangan. Akupun jadi sedikit salah tingkah melihat sikapnya yang hanya termenung. Sekecewa itukan ia?
Matahari sudah hendak pergi meninggalkan kami berdua, aku masih tidak tahu caranya memecah sunyi ini. Sesekali aku menatapnya perlahan, ia hanya terlihat seperti sedang memilih butiran pasir lalu menghempaskannya lagi ke udara.
Sejurus kemudian, Gio mengangkat tangan kirinya untuk melihat jam dilengannya.
"Sudah hampir maghrib," ia membuka pembicaraan.
"Iyah.." jawabku tanpa menoleh ke arahnya
"Kamu maunya kita gimana?" Tanyanya yang juga enggan menatapku
"Aku gak tau, Gi. Semuanya aku serahin ke kamu."
"Yang punya hubungan ini bukan cuma aku. Ada kamu. Kamu juga berhak memutuskan sesuatu. Aku dari dulu paling gak suka dijawab dengan kata terserah." Aku yakin Gio menjawabnya sambil melihat ke arahku walaupun mataku masih lurus ke depan.
"Gi, selama ini yang selalu memutuskan hubungan kita kan kamu. Kamu sedikit-sedikit nyerah, aku cuma bagian pertahanin kamu aja. Tapi kalo sekarang kamu nanya apa maunya aku, aku udah terlalu nyerah untuk berjuang sendirian. Kamu mau pergi, silahkan. Kamu mau pertahanin hubungan ini, aku ikut." Jawabku lirih.
"Okay. Kikan, mungkin sekarang kamu bukan Kikan-ku yang dulu lagi. Akupun ngerasa aku banyak berubahnya. Kamu yang sibuk kuliah sambil nulis, aku yang juga sibuk kerja setiap hari. Kita yang sedikit-sedikit cekcok. Kamu yang gak mau ngalah, atau aku yang terlalu capek ngadepin kamu karna udah seharian kerja...."
"Jangan bersikap seolah-olah kamu aja yang capek, aku juga!" Potongku sambil menatapnya tajam.
"Iya, kamu capek karena tugas kuliah kamu. Karena deadline buku dan artikel-artikel kamu itu. Tapi aku udah terlalu capek sama sikap kamu yang terlalu menuntut aku untuk ini, itu."
"Aku cuma minta waktu kamu, Gi." Air mataku tak tertahan lagi, lalu menetes begitu saja.
"Kita udah sepakat untuk nentuin kapan waktu kita berduaan, bukan?" Tanyanya sambil menempatkan kedua tangannya dibahuku, tangannya begitu asing. Tangan yang dulu selalu menenangkanku, kini serasa keras mencengkram pundakku.
"Dan kamu selalu ngelanggar kesepakatan itu, Gi. Tiap weekend, kamu selalu gak di rumah. Aku nungguin kamu, lalu kamu bilang kamu juga butuh hidup bersosial sama teman-temanmu. Aku cuma minta lima atau enam jam seminggu sekali di hidup kamu yang masih panjang ini, Gi. Kamu selalu ngilang, bukan sosok kamu lagi yang nemenin aku."
"Karna itu kamu lebih pilih Satya, daripada aku?" Aku tercengang mendengar pertanyaannya.
"Gi! Satya itu temen kecil aku! Kamu udah kenal dia. Apa salah aku minta tolong sama dia?"
"Kalau tiap hari ngeliat kamu sama Satya, jelas salah."
"Kalau aku tiap hari sama dia dan masih lebih memilih kamu buat disamping aku. Seharusnya kamu gak perlu khawatir." Pungkasku sinis.
"Nah. Seharusnya kamu sadar, Kan. Kita udah berbeda pendapat. Kita ga satu pemikiran lagi. Percuma semuanya sekarang."
"Dimana yang percuma? Pacaran sama aku? Itu yang percuma buat kamu?" Tanyaku sambil melangkah beberapa langkah ke belakang.
"Engga. Percuma kalo kita lanjutin ini, Kikan."
"Terus apa? Putus? Kenapa ga dari awal tadi bicara gitu aja? Kenapa harus berdebat dan menuduh nuduh aku?"
"Aku kira kamu Kikan yang dulu,"
"Kikan yang mana? Kikan yang kalo kamu marah-marah dan minta maaf gitu aja? Bukannya kamu yang bilang aku bukan yang dulu, apa yang kamu harapkan lagi?"
"Cukup, Kan. Kita pulang."
"Aku bisa pulang sendiri!"
Aku berlari membelangkangi Gio yang mungkin masih berada ditempatnya tadi. Aku hanya tidak habis pikir, seberubah itukah Gio? Kemana Gio yang dulu tidak pernah sekalipun tega meninggalkan aku pergi sendirian. Kemanapun. Sekarang, bahkan ia berani dan tidak berkutik sedikitpun ketika aku pergi pulang sendirian dari pantai yang jaraknya cukup jauh dari rumahku. Aku tau, mengapa perubahan cukup memuakkan. Karna 60% dari perubahan itu adalah sesuatu yang tidak diharapkan.
Sejam kemudian, aku sudah berada di kamarku. Menatap dinding yang menjadi sandaran beberapa bingkai foto kebersamaanku bersama Gio. Jelas terlihat di beberapa foto itu raut kebahagiaanku ketika bersamanya. Untuk beberapa detik aku seperti lupa bagaimana cara ia membuatku sebahagia itu, lalu di detik berikutnya aku tersadar yang dibingkai itu adalah Gio-ku yang dulu. Bukan yang sekarang.
Handphoneku lalu berbunyi, terpampang nomer Gio yang menelpon. Aku masih terlalu egois kala itu untuk mengangkat telponnya sehingga ia harus meninggalkan pesan suara. Penasaran, aku coba mengecek pesan suara yang ia tinggalkan.
'Kikan, maafin aku karna sikapku di pantai tadi. Sungguh, aku juga membenci sikapku itu. Kamu seharusnya tau, bagaimana aku jika sedang terbawa emosi. Oh maaf sepertinya kamu udah gak mau banyak tau lagi. Bukan hanya diriku yang berubah, Kikan. Kamu juga. Tapi aku gak mau berlarut larut berdebat tentang perubahan kita ini. Karna perubahan adalah konsekuensi dari waktu yang terus berjalan. Kamu harus menerimanya. Bersikaplah menjadi wanita manis, Kikan. Kamu terlalu egois dan keras. Untuk 5 tahun kita bersama ini, kamu benar-benar mengajariku banyak hal. Tapi kamu tau? Kadang lamanya kebersamaan tak menjamin apapun. Aku sebagai lelaki harus berani memutuskan banyak hal. Salah satunya tentang hubungan kita. Aku hanya rindu Kikan yang ceria dan manis seperti dulu, mungkin aku bisa mendapatkannya lagi jika melepasmu dan membiarkanmu menikmati hidup sendiri. Agak jahat atau mungkin sangat jahat, tapi percayalah. Kamu harus mencobanya. Maaf terlalu mengekangmu selama ini, tapi untuk kali ini aku sangat setuju kalau kamu mau menikmati hal-hal baru di luar sana sendirian. Aku gak mengusirmu, Kikan. Kalau kamu masih mau aku berada di sisimu, sebagai teman, sahabat, penasihat mungkin hahaha aku usahakan diriku akan selalu ada, kalau tidak sibuk ya. Bekerja sebagai arsitek sangat menyita waktuku, sekali lagi maafkan aku Kikan. Pergilah dan jemput kembali kebahagiaan kamu sendirian. Tak perlu takut kesepian, kamu mungkin malah akan mendapat banyak teman baru. Terima kasih untuk segalanya, Kikan. Aku menyayaimu..."
Air mata tak terasa membanjiri pipiku. Gio? Tak tahukah apa yang ia lakukan ini sangat menyakiti hatiku? Kenapa ia tidak berusaha atau setidaknya memintaku untuk bersabar? Atau memang akulah yang pantas ditinggalkan.
Terhitung dari senja itu, kehidupanku berubah. Untuk berapa hari aku masih merasa rapuh dan cemas. Terhitung dari senja itu juga, aku memulai melakukan hal-hal baru seperti yang Gio minta. Aku lebih memilih menulis di tempat terbuka dan umum. Untuk menambah imajinasiku atau mungkin menghibur sepiku.
Aku sama sekali tidak bermusuhan dengan Gio, seperti remaja-remaja lainnya setelah putus. Aku masih berkomunikasi dengannya terkadang, atau hanya sekedar bertukar kabar. Walau aku tak pungkiri, ketika bertemu dengannya lagi, aku tak bisa menahan rasa nyamanku. Seperti tidak bisa mengontrol diriku di depannya. Aku memang tak memaksa hatiku menghapus Gio. Aku membiarkannya tetap berada di sana. Karena aku tau, aku tak mampu. Aku hanya tak mau menyiksa diriku sendiri.
Untuk Gio, dia juga bilang. Dia tak berusaha keras untuk move on dariku. Dan kami nyaman dengan hubungan seperti ini. Santai dan tidak ada tuntutan apapun. Tapi Gio, berapa bulan lagi ia akan meneruskan program kuliah S2 nya di negri sebrang. Aku sangat senang mendengarnya. Sementara aku, aku fokus pada kuliah tingkat akhirku dan merampungkan novelku selanjutkan. Ada yang satu tidak berubah sampai saat ini; Gio selalu menjadi orang nomer satu yang membaca hasil karyaku. Dan dia sebagai pengoreksi pertama untukku.
Rasanya senja itu, senja yang sangat membawa perubahan itu, sudah lama berlalu. Diawali dari senja itu, aku adalah Kikan yang mandiri. Aku seperti tidak memerlukan siapapun lagi, maaf maksudku disini adalah seorang pacar. Aku terlalu menikmati hidupku sendiri, ditemani laptop, imajinasiku, dan terkadang beberapa gelas green tea dingin atau jika aku mau kuganti dengan coffe latte.

Senin, 06 Juli 2015

Maafkan aku



Kini sudah sebulan lamanya aku tidak pernah melihatnya lagi. Sudah sebulan juga aku hanya bisa stalking akun media sosialnya untuk sekedar mengetahui kabarnya. Dia baik-baik saja, tidak, dia sangat baik-baik saja. Memang sudah tidak diragukannya lagi, ia perempuan yang sangat kuat. Kini disini aku merindunya.
Perempuan yang tiap hari selalu menemaniku. Perempuan yang selalu memberikan telinganya untuk sekedar mendengar ceritaku tiap harinya. Perempuan yang selalu tiba-tiba datang ke rumah hanya untuk membangunkanku tidur. Perempuan yang selalu sabar menunggu aku yang selalu telat menjemputnya. Perempuan yang menjadi alasan aku untuk selalu bangkit dari kemalasan. Dan perempuan yang aku sangat cintai. Kini ia menjadi sangat amat asing bagiku.
Perempuan yang sekarang bersamaku, yang aku pikir dapat menggantikan sosok ia yang telah berlalu. Ternyata tetap tidak bisa membuatku melupakan dia. Bodoh memang, memilih perempuan yang baru kenal beberapa bulan daripada perempuan yang sudah menemani aku beberapa tahun ini. Lebih bodohnya lagi aku menduakan dia.
Malam itu, sepulangnya dari kantor aku membawa Rima ke rumah. Dibawah rintikkan hujan yang sudah mulai mereda, aku buru-buru membuka gerbang rumah dan menyuruh Rima masuk terlebih dahulu karena hari ini aku hanya mengendarai motor. Rima yang setengah kuyup disambut oleh seseorang wanita di depan pintu rumah sambil membawakannya handuk. Aku terkejut, jantungku seolah berhenti berdetak. Beberapa detik aku mematung. Wanita itu adalah Sila, pacarku. Sila mengeurudungi Rima dengan handuk yang dibawanya. Lalu ia menuju ke aku dan menyodorkan handuk kepadaku, "Kenapa gak bawa mobil aja tadi? Kamu kan tau sekarang lagi musim hujan. Nanti kamu sakit apalagi kalo bawa pacar kamu, kasian dia lho." Aku hanya bisa menganga dan tersenyum tipis kepadanya.
Aku tidak tau apa yang harus aku lakukan waktu itu. Sila tau percis siapa Rima, tetapi Rima tidak tau apa-apa mengenai Sila.
"Mau aku buatkan teh hangat? Atau coklat hangat?" Tanyanya kepada Rima yang masih setengah menggigil. "Ya, dek boleh. Trims." Rima tidak curiga sama sekali dengan Sila, dia malah menganggap Sila adalah adikku. Sila memang dua tahun lebih muda darikku, sedangkan Rima seumuran. Wajar jika Rima menganggap Sila adalah adikku.
Sila menghidangkan dua gelas coklat panas di meja, sedangkan aku hanya diam mematung. Tak ku sadari, Ibuku memperhatikan kami sedari tadi dari kamarnya. Aku yang baru menyadarinya, menghampiri Ibu ke kamar. "Bu, bagaimana ini?" Tanyaku ketakutan. "Kenapa kamu begitu sama Sila mas? Dia dari siang disini nungguin kamu pulang, katanya dari kemarin kamu gak ada kabar. Ibu juga gak tau kamu bawa temen perempuan lagi ke rumah." Ibu memang sangat menyukai Sila, perempuan yang hampir enam tahun menjadi pacarku. "Maafin mas, bu. Mas gak tau bisa sampe gini." Jawabku melunglai. "Ya sudah kamu antar pulang dulu teman kamu yang perempuan barusan, nanti Ibu yang coba jelasin ke Sila" Ibu mengajakku keluar kamarnya menghampiri dua perempuan tadi di ruang tengah, ternyata mereka sedang mengobrol akrab.
"Eh Ibu, kebetulan Sila mau pamit pulang udah malem, hehe. Besok Sila ada tugas keluar kota berangkatnya mesti pagi-pagi." Jelas Sila kepada Ibu sambil membopong koper dan tasnya. Ya Tuhan, pasti Sila tadinya berniat bermalam di rumahku untuk aku antar besok ke bandara. Aku lupa besok Sila akan ke Surabaya.
"Lho? Kamu gak jadi nginep disini Sil? Besokkan kamu harus berangkat pagi-pagi buta, disini aja biar Mas Edo yang nganter besok." Usul Ibu kepada Sila yang sudah menuju pintu untuk keluar.
"Gak apa bu, di kostan ada Evi yang bersedia nganter aku besok hehe. Lagian aku lupa ada beberapa barang yang belum aku bawa, bu. Aku pamit ya bu, doain aku biar sampe di Surabaya dengan selamat besok hehe. Nanti aku bawain Ibu oleh-oleh ya." Sila mencium tangan Ibuku dan berlalu begitu cepat. Belum sempat aku berbicara dengannya padahal.
"Itu temen kamu baik ya, aku kira adik kamu hehe. Abisan keliatannya masih muda. Eh jangan-jangan aku ya yang bikin dia pulang?" Tanya Rima yang sedari tadi aku acuhkan karena pikiranku sekarang hanya Sila.
"Eh? Engga kok kan kamu denger sendiri barang dia ada yang ketinggalan." Jawabku sedikit ketus.
"Kamu siapa namanya?" Tanya Ibu tiba-tiba kepada Rima sehabis mengantar Sila ke depan gerbang.
"Rima bu," Jawab Rima sambil salim kepada Ibu
"Kamu temennya Mas Edo? Temen satu kantor?"
"Hmm, aku pacarnya bu."
"Oh pacarnya..." Jawab Ibu sambil melirik ketus ke arahku.
"Ayo, aku antar pulang. Sudah malam besok kamu kerja kan?" Sambungku buru-buru mengajak Rima segera pulang.
Malam itu aku mengantar Rima pulang ke rumahnya sampai tengah malam. Aku langsung tancap gas menuju kostan Sila, aku yakin pasti dia menungguku.
Beberapa menit kemudian, mobilku sudah terparkir di depan kostannya. Tak ada Sila, biasanya ia selalu menungguku disana. Aku menuju kamar kostnya, mengetuk pintu beberapa kali. Hening. Tak ada jawaban. Tetapi aku yakin Sila ada di dalam. Aku bersimpuh lemas. Ya tuhan pasti Sila tidak akan sudi menemuiku lagi, batinku. Beberapa menit kemudian, pintu kamarnya terbuka. Sila menatapku biasa.
"Kamu? Kamu ngapain malem-malem kesini? Kok ga panggil aku?" Sapanya seperti tidak terjadi satu apapun.
"Eng, aku tadi sudah mengetuknya beberapa kali tapi kamu gak ngejawab." Jawabku tidak berani menatap matanya.
"Biasanya kamu telpon aku kan? Kalo aku gak buka pintu karena mau ke kamar Evi, kamu mau sampe pagi di sini? Liat tuh udah sepi, ini kostan cewek. Gak enak sama yang lain ada cowo tengah malam gini bertandang ke kamarku." Omelnya sambil lirik kanan kiri takut ada yang melihat kami.
"Kamu gak marah, Sil? Aku cuma mau jelasin hal yang barusan, tentang Rima." Aku mencoba memberanikan diri menatap matanya, menerawang apakah ia habis menangis atau tidak.
"Hmm, sebenarnya aku yakin kamu pasti bakal kesini. Soal yang barusan, bukannya sudah beribu ribu kali kita bahas soal ini? Hei, aku tau hubungan kamu dengan Rima. Bahkan kamu mnegetahuinya juga, kan? Berpuluh-puluh kalipun aku sudah mencoba melarangmu. Tapi aku sadar, kalau memang aku ini adalah milik kamu pasti kamu akan menjaganya. Hanya saja selama ini aku terlalu berharap, aku tidak tau ternyata kamu-Rima sudah semakin serius sampai kamu berani membawanya ke rumah. Ini sudah menjadi jawaban untukku, mas. Aku tau diri, aku gak mau paksa kamu. Aku gak mau aku yang bahagia sama kamu sementara kamu engga. Toh, segimanapun aku berjuang untuk kita tapi kamu engga, aku gak akan berhasil mas. Aku pikir sekarang saatnya kita masing-masing, sudah gak ada lagi yang musti kamu jelasin, ya? Kalau kamu masih mau kenal atau berteman sama aku, silahkan. Aku gak akan dendam atau musuhi kamu kok, aku terlalu tua untuk itu. Sekarang kamu mending pulang ya? Pasti Ibu sudah nunggu di rumah." Aku hanya bisa berkaca-kaca mendengar Sila, setegar itukah dia? Aku memeluknya erat untuk terakhir kalinya, aku cium aroma tubuhnya yang selama ini selalu di sampingku. Mungkin perempuan sebaik dia harus mendapat laki-laki yang lebih baik dari aku. Aku mencium keningnya, terlihat dia menangis juga.
"Aku akan selalu rindu bahu kamu, mas. Cuma bahu ini yang selama ini tempat aku mengadu. Terimakasih mas untuk semuanya, semoga kamu lebih bahagia nanti." Sila melepaskan peluknya dariku. Aku melangkah mundur, ingin rasanya aku menampar diriku sendiri. Mungkin itu tak akan cukup untuk mengganti sakit yang Sila rasakan.
Esoknya Sila pergi ke Surabaya untuk urusan kerja. Hari-hari berikutnya ia tak memberi kabar sedikitpun untukku. Hanya sesekali ia berbicara dengan Ibu lewat sambungan telpon. Aku hanya tau kabar Sila dari Ibu. Semenjak hari itu, Sila dan aku sudah tidak pernah bertemu lagi.
Yang aku tau kabar terakhir darinya adalah bahwa ia akan pindah kerja ke Surabaya. Gadis Bandung itu memang berambisi untuk tinggal di Surabaya. Entah mengapa. Tetapi haruskan sejauh ini ia menghindariku? Tidak rindukah dia kepadaku?
Rima, perempuan yang tidak bersalah itupun sampai saat ini tidak mengetahui hal yang sebenarnya. Yang tersulit adalah ketika aku bersama Rima tetapi hati dan pikiranku jauh melayang ke Sila. Maafkan aku, mungkin maaf ini tidak akan mengobati kepedihan Sila atau Rima.

Minggu, 28 Juni 2015

Who Am I?


 ABOUT ME:
Name: Nur Dhiny Hidayah
Usually called: Dhiny, Dhino, Noy, Dhiney, Ney, Dhinsky, atau Sayang
Date of birth: July, 24 1996
Gender: Tetep cewek
Interested in: Blogging, Writing fiction story, A dog lover, Traveling, and selfie-ing
Passion: Writing & Women karrier
Hobby: Ngegalau dengan gaya sok tegar, biasanya sambil dengerin musik terus marah-marah gak jelas dan diakhiri dengan mencurahkannya menjadi sebuah tulisan yang absurd
Star sign: Leo (proud).
Shio: Tikus (ewh)
Height: 163 cm (if you told me too tall, you are too short)
Weight: Masih dirahasiakan
Life motto: "There's no late to reach all your dream"
Email: nurdhinyhidayah@gmail.com // nurdhiny_hidayah@yahoo.com

SOCIAL MEDIA:
Facebook: DhinyFauzi
Twitter: DhinyFauzi
Instagram: Dhinfau
Path: Dhiny Fauzi


Kamis, 25 Juni 2015

We're just an animal lover

Di post kali ini gw bakal cerita tentang absurdnya hewan-hewan yang pernah dipelihara keluarga gw dari gw masih kecil sampe sekarang.  Gw belom ada ide bikin cerita fiksi lagi, mungkin gw udah capek berimajinasi maunya yang pasti nyata aja *Ealah malah curhat.
Iya, dari bokap gw kayanya gw jadi pencinta binatang juga dan nyokap pun fine aja selama yang dipelihara masih bisa hewan yang tergolong normal-normal aja kalo kita rawat. Selama 18 tahun gw hidup, gw udah pindah rumah empat kali. Yang pertama di rumah kakek nenek gw, disitu keluarga gw gak bisa pelihara apa-apa. Yang kedua rumah sederhana yang gw panggil 'Rumah belakang' rumah ini punya satu pohon jambu batu dan sedikit halaman kebun di depannya, di rumah ini lah keluarga gw sering pelihara hewan dari yang lucu sampe yang ngeselin. Rumah yang ketiga lebih kecil tapi lebih nyaman dari yang kedua, mungkin karena ini rumah asli bokap gw. Dan yang ke empat sekarang, baru hampir setahun gw tempatin. Lebih gede dari rumah-rumah sebelumnya tapi gw ga senyaman rumah-rumah yang dulu.
So here are the story of some animal we ever care:

1. LUTUNG
Lagi ngaca ya... :p
 Gw lupa gimana bokap gw bisa miara lutung waktu itu. Soalnya pas Lutung dipelihara bokap gw kayanya ga bertahan lama di rumah dan diserahin ke orang lain. Gw juga ga inget tepatnya kapan, kalo gak salah waktu itu gw masih kecil banget masih jamannya gak malu keluar maen cuma pake kutang...

2. MUSANG
Sama halnya kaya Lutung, si Musang ini juga ga bertahan lama di rumah. Bokap kayaknya nemu ini bocah lagi grasak-grusuk di genteng rumah. Akhirnya ini hewan dihibahin ke kakek gw di Sukabumi buat jaga kebonnya. Yah harapan cuma jadi angan, bukannya jagain kebon si Musang ini malah makanin ayam tetangga yang lagi pada anteng. Gw juga gak tau gimana nasib Musang setelah tetangga-tetangga kakek gw minta ganti rugi akibat ulahnya wakkkk.

3. MONYET
Dimeletin nih ye sama kembaran :p
Nah ini dia hewan yang paling ngeselin buat gw. Dipanggilnya si Mangki (Monkey). Di depan rumah gw yang kedua kan ada tiang peyanggah gitu, nah si Mangki ini dicancang (diiket) di tiang itu. Ini hewan musuh besar gw. Pokoknya dia benci banget kalo ada gw, padahal kan gw suka beliin dia pisang di warung (merasa tak dihargai). Si Mangki ini cowok, dia genit banget sama adeknya bokap gw yang cewek. Demennya dielus-elus manja sama tante gw, dasar Monyet! Selain nurut sama bokap dia juga nurut sama nyokap gw yang notabenenya waktu itu lagi hamil gede ade gw yang pertama. Yang paling gw inget dari si Mangki adalah tiap siang bolong kan gw pasti kelayaban pas mau pulang ke rumah, nyokap bokap tidur siang. Tiap gw mau masuk rumah pasti gw berjuang keras biar terhindar dari cakaran si Mangki yang ngejaga pintu rumah seoalah ngelarang gw masuk. Jadilah gw ikutan loncat sana-sini, naek-naek ke bangku sambil teriak-teriak minta bala bantuan ke bokap nyokap gw. Padahal rumah juga rumah gw, tapi mau masuk aja harus perang sama Monyet. Kan kampret. Tapi akhir cerita si Mangki ini cukup nyedihin, dia diracunin sama tetangga gw yang gak suka sama dia. Gimanapun juga Mangki pernah jadi temen gw di rumah yang udah bantuin gw latihan kalo berantem sama ade gw nantinya.... (nahan tangis)

4. AYAM
Kakek nenek gw di Sukabumi punya banyak ayam yang diternak di rumah. Nah nyokap gw pun pengen nyoba peruntungan buat nernak ayam di rumah waktu itu. Akhirnya nyokap minta beberapa ayam dari nenek gw di kampung. Ayam adalah No. 1 urutan paling atas dari hewan-hewan yang gw takutin. Sempet mikir kenapa ga nernak hewan-hewan yang lain aja gitu yang lebih unyu. Ketakutan gw sama ayam ini bermula dari adegan kejar-kejaran gw sama ayam yang mau matok gw, jadilah gw trauma. Dulu tiap sore ayamnya dilepas diperkarangan rumah gw, tiap sore juga gw melarikan diri dari rumah karna takut sama ayam. Kalo ga salah jumlahnya lebih dari lima. Belom sempet itu ayam-ayam bereproduksi, penyakit flu burung dateng. Nyokap ketakutan, akhirnya itu ayam dikasih ke sodara gw lalu dipotong. Nyokap gw ga tega bunuh ayam yang dia rawat, iya nyokap gw dramatis.

5. IKAN
Bokap gw adalah tipikal cowok mainstream yang ngikutin perkembangan zaman. Dulu lagi gempar-gemparnya ikan louhan, ikan yang ada benjolan di kepala dan di badannnya ada tulisan cina ini pun juga sempet bokap gw pelihara. Sebelumnya bokap emang punya akuarium yang isinya cuma ikan hias kecil-kecil. Kalo bokap gw udah milikin sesuatu yang jadi incarannya pasti dijaga abis-abisan. Ya contohnya ikan louhan ini, tiap minggu pas dia libur kerja pasti seharian dia ngurusin Louhannya. Dari mulai basah-basahan gara-gara nguras akuarium sampe ngehias akuariumnya biar tampilannya cantik. Mungkin kalo ini ikan bisa diajak jalan-jalan bokap gw bakal fish-walk keliling kampung buat nunjukin ikannya yang benjol ini. Ikan Louhan ini juga berakhir tragis, ditinggal pulang kampung sekeluarga pas pulang ngeliat dia udah ngambang tak bernyawa. Bokap gw jadi depresi.

6. KELINCI
Miara kelinci asli kemauan dari gw sendiri waktu itu. Pas pulang ke sukabumi gw ngeliat sodara-sodara gw di sana miara kelinci yang lucu nan ngegemesin ini. Mereka biarin kelinci lari-larian di kebon rumah nenek dengan pengawasan mereka. Gw jadi ngiri, akhirnya gw ngerengek minta dibeliin kelinci buat gw piara di Jakarta nanti. Untuk sekian kalinya gw pulang ke Jakarta bawa kardus yang isinya hewan. Gw bangga nunjukin ke temen-temen gw yang di Jakarta karena gw punya kelinci, satu dari temen-temen gw bilang kalo di Ragunan juga banyak yang jual keleus. Gw hopeless. Iya pengetahuan gw waktu itu masih dangkal. Gw dibuatin kandang kelinci dari papan sama bokap gw buat kelinci-kelinci gw tidur. Gw juga sering ngelepas dia buat main di halaman depan rumah dan gak jarang kelinci gw pup di lantai rumah. Gw yang masih kecil dan gak mau bertanggung jawab atas kelakuan hewan peliharaan gw jadi sering kena omel nyokap. Yang gw tau waktu itu adalah miara hewan buat jadi mainan dan cuma ngasih makan. Gw yang bosenan akhirnya kembali kehidupan gw yang semula; main keluar rumah sama temen-temen. Iya, tanpa mikirin kelinci gw lagi. Dan lagi-lagi hewan gw ini berakhir tragis, mati dua-duanya. Nyokap ngegali tanah di depan rumah buat nguburin mereka, gw cuma nangis sok-sok kehilangan mereka.

7. KURA-KURA
Kalo hewan yang satu ini, punya adek gw. Waktu itu gw udah agak gedean, udah gak sempet miara hewan lagi karena jadwal maen gw udah bertambah. Bokap nyokap beli sepasang kura-kura di ragunan. Dulu lagi jaman-jamannya tuh mira kura-kura kecil gini terus di taro di kandang plastik yang juga sama kecilnya. Ade gw juga mainstream, dia ngikutin sepupu gw yg duluan miara kura-kura. Gw lupa siapa nama kura-kuranya, yang jelas ade gw yang namain. Tiap hari dia kasih makan yang berlebihan ampe air di kandangnya butek. Kadang juga di lepas di darat terus dimainin ade gw. Gw gak ada cerita lucu sama kura-kura ini, karena ade gw yang piara dan dia ga sempet ceritain gimana enaknya miara kura-kura. Kalo pun gw nanya sekarang, pasti dia udah lupa. Dan untuk ke sekian kalinya, hewan ini mati di kandangnya. Gw gak tau kenapa penyebabnya. Adek gw nangis gak mau terima kenyataan, dia pelukin itu bangke kura-kura terus dikafanin sama dia. Lalu dikubur dengan sederetan acara pemakaman yang dia lakuin sama temen-temennya waktu itu, sumpah gw gak ikutan.

8. BURUNG
Lagi-lagi bokap gw lah yang miara hewan ini. Gw gak tau jenis-jenis dari burung. Yang gw tau cuma burung dara, itu juga karena dulu pas gw masih kecil gw ikut-ikutan mainin burung dara yang kalo satu dilepas terbang tinggal tunjukkin pasangannya dan burung itu bakal balik lagi ke gw. Iya gw dulu agak tomboy, karena bosen maen layang-layang yang telap (putus) terus dan kalah lomba tamiya akhirnya gw beralih ke hewan peliharaan bokap gw; burung dara. Bokap sampe bikinin kandang dari papan di pohon jambu batu depan rumah, kaya rumah pohon gitu jadinya. Bukan burung dara aja bokap juga suka burung yang suaranya bagus, kalo kata gw mah sangat amat mengganggu. Sampe sekarang pun bokap masih punya burung peliharaannya di rumah. Yang lebih miris sekitar semingguan yang lalu bokap beli burung kenari di temennya, belom gw liat bentuknya itu burung cuma bertahan sehari di rumah sebelom dimaling orang. Ga ngerti gimana cara itu maling ngambilnya, burung itu di gantung di depan rumah yang atapnya tinggi banget, dibawahnya ada motor bokap, dan gerbang rumah dikunci. Mungkin itu malingnya punya kekuatan terbang, biar berkah deh ya burung hasil curiannya.

9. KUCING
Kalo yang ini hewan peliharaan nyokap gw. Dari kecil nyokap katanya juga suka miara kucing. Kucing pertama di rumah gw adalah si Jablay, kucing kampung belang orens-hitam-putih yang kalo ke rumah gw pasti lagi bunting. Gw gak pernah ngeliat dia lahiran atau liat anak-anaknya. Yang jelas itu kucing dateng ke rumah pas lagi hamil dan besoknya perutnya udah kosong lagi entah kemana. Padahal gw pengen banget miara anak-anaknya, mungkin si Jablay gak mau anak-anak hasil hubungan gelapnya diasuh sama gw ya. Semacam kucing posesif gitu. Dan kucing kedua gw adalah kucing anggora warna putih kapas percis kaya di gambar atas cuma matanya ga biru. Bokap dikasih sama temennya yang udah kebanyakan kucing, cuma tinggal diganti uang susu dan kucing itu jadi milik gw. Gw namainnya Rara. Karena Rara kucing ras jadi bokap nyokap gak mau ngasih dia makanan sembarangan, Rara pun dibeliin makanan kering sampe makanan kaleng khusus kucing dan susunya. Rara gw piara di umur 3 bulan. Rara lincah banget, paling suka masuk ke kolong tempat tidur dan keluar dengan debu yang menghiasi badan putihnya. Rara juga usil, tiap gw lagi ngecharge hp pasti kabelnya ditarik-tarik. Kalo ga tiap gw lagi belajar, buku dan pulpen gw jadi bahan mainannya dia. Yang ngeselin dari Rara adalah hasratnya yang tinggi buat kabur dari rumah tiap liat pintu kebuka, jadilah seharian penuh rumah gw ditutup. Tiap hari juga rumah gw engap karena pupnya si Rara ini. Gw gak lama piara dia, sekitar tiga mingguan dia pindah tangan ke temennya bokap. Gw, nyokap, ade gw galau kehilangan Rara. Suka mendadak mellow kalo nonton vidoenya dia.

9. HAMSTER
Alasan kita miara hamster adalah karena gw dikasih kandang hamster nan imut sama tante gw. Jadilah gw beli empat hamster di taman barito. 2 cewek dan 2 cowok. Yang cewe gw namain Doo, pasangannya gw namain Loo. Yang gendut cowok gw namain Gembul sedangkan pasangannya gw namain Cony. Entah mereka bener pasangannya atau bukan, gw ngasal aja ngejodohin mereka. Padahal kan jodoh di tangan tuhan *ealah. Selama gw miara mereka gw gak pernah megang ataupun ngegendong mereka, gw geli. Serius gw takut aja kalo gw pegang terus gw khilaf malah gw remukin badannya. Jadi untuk menghindari hal tersebut gw cuma bisa menikmati kelucuan mereka muter-muter di kincirnya. Walaupun gw gak pernah kontak fisik sama mereka tapi gw sayang banget mereka. Tapi malang juga gak bisa menghindari nasib hamster-hamster gw ini, ada tetangga gw yang sok tau bin ngeselin ngasih tau hamster itu bagusnya dijemur. Sehari dua hari okelah mereka masih fine-fine aja pas dijemur, tapi yang ketiga kali nyokap gw nemuin 3 dari 4 hamster gw mokad! Yak matik! Waktu itu gw masih smp, gw masih pulang maghrib. Gw pulang ke rumah dengan kabar duka kematian 3 dari 4 hamster gw. Pas gw pulang sengaja mereka belum dikubur sama nyokap biar gw ngeliat katanya, lagi-lagi nyokap gw dramatis. Gw pandangin hamster gw dengan penuh kesedihan sampe gw nangis kejer. Nyokap, ade gw malah ikutan nangis lagi setelah seharian dia nangis juga katanya. Satu-satunya hamster yang lolos dari kejadian maut itu adalah Cony, yang gw gak tau ternyata dia lagi hamil. Omaygat! Gw jadi makin ngerasa bersalah, apa jadinya nanti kalo Cony ngelahirin tanpa seorang suami? Seorang ayah dari anaknya? Oke ini lebay. Selang beberapa hari Cony ngelahirin satu anak hamster yang kecil banget malah mirip kaya upil gitu. Cony? Tewas setelah perjuangannya melahirkan sendirian. Malang banget nasib baby Cony yang lahir tanpa ayah dan ibunya. Gw yang gak ada bakat miara hamster pun cuma ngasih baby Cony susu hangat yang gw beli di warung entah itu diminum apa engga sama dia, sesekali juga nyokap nyuapin. Endingnya, baby Cony gak bisa ngejalanin hidup yang kejam ini sendirian, dia pergi nyusul kedua orang tuanya. Bye baby, you've meet your parents now..


10. ANJING
Keluarga gw emang udah biasa deket-deket anjing. Dulu nyokap bokap kerja di sekolah luar biasa gitu yang pemiliknya miara banyak anjing. Di depan rumah kedua gw pun ada rumah yang gede banget kalo dari luar udah kaya hutan dan isinya banyak anjing. Gak jarang anjingnya jalan-jalan ke deket rumah gw. Dulu ada Coco anjing, anjing trah golden ada juga Dipsy anjing shihtzu yang tiap lewat depan rumah pengen gw culik rasanya. Dan gw pun setahun yang lalu miara anjing shihtzu, si Queen. Hewan ini paling terfavorite diantara semua hewan yang pernah keluarga gw pelihara. Sejak piara Queen hati gw udah tertuju sama anjing. Sampe gw punya cita-cita miara 12 anjing di rumah gw nantinya. You can read story of Queen at older post; My half alive, Queen.


Itulah kesepuluh hewan yang kurang beruntung yang sempet dipelihara keluarga gw. Sebenernya ada beberapa hewan lagi yang suka nginep di rumah gw dan gak kalah anehnya. Ini berkat kepedean bokap gw yang bilang "Binatang apa aja kalo sama bapak pasti nurut" untungnya dia gak pernah nyoba perkataannya itu ke hewan macam Singa, Buaya, Kuda nil kalo iya gw gak tau nasib dia sekarang gimana.
Hewan-hewan yang pernah nginep di rumah gw waktu itu ada Kuskus punya tante gw yang sama-sama suka miara binatang, karna dia pergi ke luar kota si Kuskus inipun nginep di rumah gw berapa hari. Gw gak tertarik sama dia, soalnya suka ngumpet tiap gw samperin. Jadi gimana mau gw jatuh hati kalo tatap-tatapan sama dia aja gak pernah.
Pernah juga bokap gw bawa Ular ke rumah, dipamerin di depan gw dan temen-temen gw yang bukannya menganga kagum malah ngibrit dari rumah. Katanya Ular itu punya temen dia yang nemu di kali pas lagi mancing, how scary story. Karena ulahnya yang bawa Ular ke rumah bokap jadi diusir cantik sama nyokap gw buat balikin itu Ular ke temennya. Gw lupa berapa hari dia netap di rumah gw. Pokoknya horror abis. Bokap emang ngebet pengen miara hewan melata itu di rumah, tapi karena dia sadar makanannya adalah ayam yang mana keluarga gw makan ayam di Idul Fitri doang (boong deng) jadi demi kelangsungan hidup keluarganya, bokap akhirnya mengurungkan niatnya itu daripada harus ngeliat hewan peliharaannya makan Ayam tapi anak sama istrinya makan dedek (makanannya ayam).
Sebenernya kalo boleh jujur, gw lebih absurd dari bokap. Keinginan gw yang gak pernah tercapai ampe sekarang dan mungkin gak akan pernah tercapai adalah gw pengen piara Singa! Semenjak gw nonton film Narnia dan gw ngeliat disitu ada Singa yang namanya Aslan gw pun langsung jatuh cinta. Gw sempet mengagumi Aslan kaya gw mengagumi Zayn Malik. Kaya terhipnotis sama kegagahannya. Gw juga pernah berkhayal gimana kerennya gw CFD-an ke senayan sampe HI bawa-bawa Singa macam Aslan. Beh! Selain Car free day gw yakin hari minggu bakal jadi human free day kalo gw kesitu ngebawa Singa. Mungkin kalian sekarang udah tau kenapa gw pengen jadi penulis, gak lain gak bukan karena imajinasi gw yang terlalu aneh tinggi .
So thank you to read this post, see ya!



My half alive, Queen.

Tahun lalu, seminggu setelah perayaan Idul Fitri, gw dan kedua orang tua gw mutusin untuk nambah satu anggota keluarga berupa Anjing. Gw masih inget banget gimana senengnya gw punya peliharaan, no she was my sister too. Her named is Queen, her trah is Shihtzu. Gw beli dia bukan dari puppy tapi dari dia berumur 2 tahun. Kenapa gw milih anjing yang sudah dewasa? Jadi gini pas gw ke toko anjing, disitu ada banyak anjing yang masih kecil. Ada pomeranian, chihuahua, pokoknya gw fokus ke small trah (which is my house are made for them. Re; my house is small) Mereka anjing-anjing yang mungkin udah tau kalo ada orang yang mau beli mereka ngegonggong, muter-muter di kandang untuk ngambil perhatian gw. Tapi mata gw tertuju cuma sama anjing di paling depan pojok kanan yang lebih santai. Iya, Queen. Love at the first sight, itu yang gw rasain ke Queen.
Gw langsung memantapkan pilihan gw ke dia dan minta abangnya buat ngeluarin dia dari kandang. Dia malah seolah nolak buat dikeluarin, gak kaya anjing lainnya yang kaya mau kabur dati toko itu. Gw langsung megang-megang Queen yang relax dan ga berontak setelah gw peluk. Tapi hatinya saat itu mungkin masih tertuju sama kandangnya, bukan sama gw. Gw gak patah arang, gw minta bokap gw buat beli dia aja. Setelah nego yang cukup alot akhirnya, Queen is mine.
Gw kegirangan pas di jalan bawa dia. Sempet nyari-nyari petshop yang bisa grooming pada waktu itu (Sekitar jam 4 sore) Karena ini pertama kalinya gw punya anjing (sebelumnya gw miara kucing anggora, kelinci, kura-kura, monyet, hamster) jadi gw gak tau kalo anjing gak boleh dimandiin sore. Akhirnya gw pulang ke rumah dan niat buat mandiin Queen esok harinya, karena suasana masih lebaran jadi masih banyak petshop yang tutup.
Hari pertama, kedua, ketiga, Queen masih tahap pengenalan lingkungan rumah gw. Gw gak bolehin dia keluar rumah, karena takut tetangga pada ribet, gw lepas Queen di dalem rumah. Queen juga bisa diajak kerja sama, dia gak pernah sekalipun mau nerobos pintu buat kabur dari rumah atau gonggong-gonggong gak jelas. Dia tenang. Gw kaya miara kelinci, gak ada suaranya. Malah bokap gw ngira Queen bisu. Tapi setelah lama kelamaan Queen tinggal sama keluarga gw, dia mulai nunjukin sikapnya yang asli. Dia ga betah kalo ditaro di kandang. Maunya ngikutin nyokap gw mulu, mungkin karena nyokap gw yang selalu mandiin dia.
Sebelum miara Queen, keluarga gw emang udah niat pindah rumah ke yang lebih luas. Kira-kira dua minggu lebih Queen gw piara, kita pindah rumah (of course with Queen). Di rumah baru, Queen lebih explorasi diri dia. Lari-larian ke sana kemari, karena rumah gw yang baru punya halaman depan yang bisa buat Queen main. Tapi tetep Queen gak pernah nunjukin dia mau kabur dari rumah.
Lama-kelamaan Queen udah kaya adek gw sendiri. Udah kaya anak-anaknya nyokap bokap gw. Kalo Queen gw ajak maen ke rumah temen atau sekedar cfd-an di senayan, nyokap bokap selalu nyariin dia padahal anaknya itu gw. Begitupun sama gw, kalo gw lagi kerja atau pergi jalan-jalan satu-satunya yang bikin gw kebelet pengen balik ya cuma Queen. Seolah Queen itu adalah sebagian dari hidup keluarga gw.
Yang paling gw suka dari Queen adalah dia gak pernah gigit gw walaupun itu lagi bercanda. Mungkin kalo nyakar beberapa kali, tapi dia gak pernah nyakitin gw. Yang selalu gw kangenin dari dia adalah keisengan gw yang suka kunciin dia di kamar terus nungguin dia manggil-manggil gw seolah nangis (bukan gonggong) terus tiap gw buka pintunya dia ngibrit ngiterin rumah, lari-larian kaya kelinci. Sambil gonggong-gonggong halus seolah dia lagi ngomelin gw dan favorit gw adalah pas gw peluk dia, dia tenang lagi. Oh Queen, how I miss you like a crazy one.
Tempat favorite Queen adalah dimana dia bisa tidur nyaman tanpa gangguan, biasanya dia tidur di belakang pintu kamar gw, dibawah kasur nyokap, atau dibawah jemuran (sering gw pindahin karena gw ga tega liat dia tidur di luar). Padahal dia punya kasur buat tidur, tapi tetep dia lebih milih tidur di deket gw, bokap atau nyokap. Dan yang paling jengkelin dari Queen adalah jamnya dia beda 180 derajat dari gw. Contohnya jamnya gw tidur adalah jam mainnya dia atau semangatnya dia buat main sedangkan jam tidurnya dia adalah jam dimana gw lagi getol-getolnya ngajak dia jalan. Makanya tiap gw ketemu jamnya tepat, gw gak pernah sia-siain waktu sama Queen.
Queen palih reseh kalo liat gw tidur, dia bakal ga berenti gangguin gw sampe gw bangun. Kalo pintu kamar gw ditutup dia bakal marah dan manggil-manggil gw dari luar. Kalo udah gw bukain terus dia ngeliat gw lagi tidur, Queen langsung narik selimut gw atau nginjek-nginjek badan gw. Kalo udah begitu dan gw tetep tidur yang bakal dilakuin adalah ngegonggong sekenceng-kencengnya. Mau gak mau gw bangun dan ngeladenin dia. Tapi yang terjadi? dia kabur dari hadapan gw seolah ngehindarin omelan dari gw. Gw panggil dia, terus dia dengan semangat nyamperin gw. Lagi-lagi yang gw bisa lakuin adalah meluk dia, dia kembali tenang.
Queen gak pernah nyusahin gw atau keluarga gw. Walaupun dia masih suka pipis atau pup sembarangan kalo lagi ngambek, gw gak pernah anggep dia anjing yang nyusahin. Nyokap gw yang sehari-harinya tinggal berdua sama Queen pun berpikiran sama, Queen gak pernah nyusahin mama. Padahal selama kita ngerawat Queen, nyokap gw lagi hamil. Dan buat orang-orang dengan sejuta mitos yang percaya bahwa ibu-ibu hamil gak boleh deket anjing itu salah. Nyatanya? Sampe sekarang nyokap gw sehat dan melahirkan ade perempuan gw yang sehat pula malah gendutnya minta ampun.
Sebenernya, udah lama gw mau bikin posting tentang Queen. Gw pengen semua orang tau, gw punya satu malaikat tuhan yang gw piara di rumah. Yang selalu bawa kebahagiaan di rumah, yang selalu bersikap seolah dia punya hati dan pikiran sama kaya manusia, dan yang penting adalah selalu nyanyangin keluarga gw dengan sepenuh hatinya.
Gw gak mau cerita gimana Queen pergi selamanya. Karena cukup ceritain yang bahagianya sama Queen aja gw udah bersusah payah buat ga netesin air mata. Kepergian Queen adalah hal yang paling menyakitkan bagi gw. Buat ingatnya lagi, sama aja kaya ngungkit sakit hati yang paling dalam. Intinya gak ada yang bisa gantiin Queen, siapapun. Gak ada yang bisa gantiin tempat dia di hati gw. Maybe, someday I'll have another dog but not in a place where Queen used to be in my heart.

And now, it's the end of this post. Karena gw lagi puasa dan gak mau puasa gw batal gara-gara nangisin Queen. Iya, gw belom bisa move on dari dia.
Queen, you gone so fast. I'm so sorry to all I did for you. I know you wont leave me alone but God missed you already. Now, you in rainbow bridge. I really miss you know, until we meet again someday. So let me share the picture and video of Queen, my beloved dog.




Muka-muka abis grooming, cantik banget Quennya kakak *love struck*





 Nah loh ini dia tersangka yang abis bangunin gw tidur :p

 Lagi tidur dibangunin, kesel. Mau ngomelin masang muka begini, mana tahan?
 Queen lagi kepo mau kenalan sama Nami (hamster)


 Kecapean ya Queen? Abis mainin hamster :D


 Abis dimandiin, mau disisirin. Malah kabur ke kamar, kelakuan kamu dek!