Senin, 06 Juli 2015

Maafkan aku



Kini sudah sebulan lamanya aku tidak pernah melihatnya lagi. Sudah sebulan juga aku hanya bisa stalking akun media sosialnya untuk sekedar mengetahui kabarnya. Dia baik-baik saja, tidak, dia sangat baik-baik saja. Memang sudah tidak diragukannya lagi, ia perempuan yang sangat kuat. Kini disini aku merindunya.
Perempuan yang tiap hari selalu menemaniku. Perempuan yang selalu memberikan telinganya untuk sekedar mendengar ceritaku tiap harinya. Perempuan yang selalu tiba-tiba datang ke rumah hanya untuk membangunkanku tidur. Perempuan yang selalu sabar menunggu aku yang selalu telat menjemputnya. Perempuan yang menjadi alasan aku untuk selalu bangkit dari kemalasan. Dan perempuan yang aku sangat cintai. Kini ia menjadi sangat amat asing bagiku.
Perempuan yang sekarang bersamaku, yang aku pikir dapat menggantikan sosok ia yang telah berlalu. Ternyata tetap tidak bisa membuatku melupakan dia. Bodoh memang, memilih perempuan yang baru kenal beberapa bulan daripada perempuan yang sudah menemani aku beberapa tahun ini. Lebih bodohnya lagi aku menduakan dia.
Malam itu, sepulangnya dari kantor aku membawa Rima ke rumah. Dibawah rintikkan hujan yang sudah mulai mereda, aku buru-buru membuka gerbang rumah dan menyuruh Rima masuk terlebih dahulu karena hari ini aku hanya mengendarai motor. Rima yang setengah kuyup disambut oleh seseorang wanita di depan pintu rumah sambil membawakannya handuk. Aku terkejut, jantungku seolah berhenti berdetak. Beberapa detik aku mematung. Wanita itu adalah Sila, pacarku. Sila mengeurudungi Rima dengan handuk yang dibawanya. Lalu ia menuju ke aku dan menyodorkan handuk kepadaku, "Kenapa gak bawa mobil aja tadi? Kamu kan tau sekarang lagi musim hujan. Nanti kamu sakit apalagi kalo bawa pacar kamu, kasian dia lho." Aku hanya bisa menganga dan tersenyum tipis kepadanya.
Aku tidak tau apa yang harus aku lakukan waktu itu. Sila tau percis siapa Rima, tetapi Rima tidak tau apa-apa mengenai Sila.
"Mau aku buatkan teh hangat? Atau coklat hangat?" Tanyanya kepada Rima yang masih setengah menggigil. "Ya, dek boleh. Trims." Rima tidak curiga sama sekali dengan Sila, dia malah menganggap Sila adalah adikku. Sila memang dua tahun lebih muda darikku, sedangkan Rima seumuran. Wajar jika Rima menganggap Sila adalah adikku.
Sila menghidangkan dua gelas coklat panas di meja, sedangkan aku hanya diam mematung. Tak ku sadari, Ibuku memperhatikan kami sedari tadi dari kamarnya. Aku yang baru menyadarinya, menghampiri Ibu ke kamar. "Bu, bagaimana ini?" Tanyaku ketakutan. "Kenapa kamu begitu sama Sila mas? Dia dari siang disini nungguin kamu pulang, katanya dari kemarin kamu gak ada kabar. Ibu juga gak tau kamu bawa temen perempuan lagi ke rumah." Ibu memang sangat menyukai Sila, perempuan yang hampir enam tahun menjadi pacarku. "Maafin mas, bu. Mas gak tau bisa sampe gini." Jawabku melunglai. "Ya sudah kamu antar pulang dulu teman kamu yang perempuan barusan, nanti Ibu yang coba jelasin ke Sila" Ibu mengajakku keluar kamarnya menghampiri dua perempuan tadi di ruang tengah, ternyata mereka sedang mengobrol akrab.
"Eh Ibu, kebetulan Sila mau pamit pulang udah malem, hehe. Besok Sila ada tugas keluar kota berangkatnya mesti pagi-pagi." Jelas Sila kepada Ibu sambil membopong koper dan tasnya. Ya Tuhan, pasti Sila tadinya berniat bermalam di rumahku untuk aku antar besok ke bandara. Aku lupa besok Sila akan ke Surabaya.
"Lho? Kamu gak jadi nginep disini Sil? Besokkan kamu harus berangkat pagi-pagi buta, disini aja biar Mas Edo yang nganter besok." Usul Ibu kepada Sila yang sudah menuju pintu untuk keluar.
"Gak apa bu, di kostan ada Evi yang bersedia nganter aku besok hehe. Lagian aku lupa ada beberapa barang yang belum aku bawa, bu. Aku pamit ya bu, doain aku biar sampe di Surabaya dengan selamat besok hehe. Nanti aku bawain Ibu oleh-oleh ya." Sila mencium tangan Ibuku dan berlalu begitu cepat. Belum sempat aku berbicara dengannya padahal.
"Itu temen kamu baik ya, aku kira adik kamu hehe. Abisan keliatannya masih muda. Eh jangan-jangan aku ya yang bikin dia pulang?" Tanya Rima yang sedari tadi aku acuhkan karena pikiranku sekarang hanya Sila.
"Eh? Engga kok kan kamu denger sendiri barang dia ada yang ketinggalan." Jawabku sedikit ketus.
"Kamu siapa namanya?" Tanya Ibu tiba-tiba kepada Rima sehabis mengantar Sila ke depan gerbang.
"Rima bu," Jawab Rima sambil salim kepada Ibu
"Kamu temennya Mas Edo? Temen satu kantor?"
"Hmm, aku pacarnya bu."
"Oh pacarnya..." Jawab Ibu sambil melirik ketus ke arahku.
"Ayo, aku antar pulang. Sudah malam besok kamu kerja kan?" Sambungku buru-buru mengajak Rima segera pulang.
Malam itu aku mengantar Rima pulang ke rumahnya sampai tengah malam. Aku langsung tancap gas menuju kostan Sila, aku yakin pasti dia menungguku.
Beberapa menit kemudian, mobilku sudah terparkir di depan kostannya. Tak ada Sila, biasanya ia selalu menungguku disana. Aku menuju kamar kostnya, mengetuk pintu beberapa kali. Hening. Tak ada jawaban. Tetapi aku yakin Sila ada di dalam. Aku bersimpuh lemas. Ya tuhan pasti Sila tidak akan sudi menemuiku lagi, batinku. Beberapa menit kemudian, pintu kamarnya terbuka. Sila menatapku biasa.
"Kamu? Kamu ngapain malem-malem kesini? Kok ga panggil aku?" Sapanya seperti tidak terjadi satu apapun.
"Eng, aku tadi sudah mengetuknya beberapa kali tapi kamu gak ngejawab." Jawabku tidak berani menatap matanya.
"Biasanya kamu telpon aku kan? Kalo aku gak buka pintu karena mau ke kamar Evi, kamu mau sampe pagi di sini? Liat tuh udah sepi, ini kostan cewek. Gak enak sama yang lain ada cowo tengah malam gini bertandang ke kamarku." Omelnya sambil lirik kanan kiri takut ada yang melihat kami.
"Kamu gak marah, Sil? Aku cuma mau jelasin hal yang barusan, tentang Rima." Aku mencoba memberanikan diri menatap matanya, menerawang apakah ia habis menangis atau tidak.
"Hmm, sebenarnya aku yakin kamu pasti bakal kesini. Soal yang barusan, bukannya sudah beribu ribu kali kita bahas soal ini? Hei, aku tau hubungan kamu dengan Rima. Bahkan kamu mnegetahuinya juga, kan? Berpuluh-puluh kalipun aku sudah mencoba melarangmu. Tapi aku sadar, kalau memang aku ini adalah milik kamu pasti kamu akan menjaganya. Hanya saja selama ini aku terlalu berharap, aku tidak tau ternyata kamu-Rima sudah semakin serius sampai kamu berani membawanya ke rumah. Ini sudah menjadi jawaban untukku, mas. Aku tau diri, aku gak mau paksa kamu. Aku gak mau aku yang bahagia sama kamu sementara kamu engga. Toh, segimanapun aku berjuang untuk kita tapi kamu engga, aku gak akan berhasil mas. Aku pikir sekarang saatnya kita masing-masing, sudah gak ada lagi yang musti kamu jelasin, ya? Kalau kamu masih mau kenal atau berteman sama aku, silahkan. Aku gak akan dendam atau musuhi kamu kok, aku terlalu tua untuk itu. Sekarang kamu mending pulang ya? Pasti Ibu sudah nunggu di rumah." Aku hanya bisa berkaca-kaca mendengar Sila, setegar itukah dia? Aku memeluknya erat untuk terakhir kalinya, aku cium aroma tubuhnya yang selama ini selalu di sampingku. Mungkin perempuan sebaik dia harus mendapat laki-laki yang lebih baik dari aku. Aku mencium keningnya, terlihat dia menangis juga.
"Aku akan selalu rindu bahu kamu, mas. Cuma bahu ini yang selama ini tempat aku mengadu. Terimakasih mas untuk semuanya, semoga kamu lebih bahagia nanti." Sila melepaskan peluknya dariku. Aku melangkah mundur, ingin rasanya aku menampar diriku sendiri. Mungkin itu tak akan cukup untuk mengganti sakit yang Sila rasakan.
Esoknya Sila pergi ke Surabaya untuk urusan kerja. Hari-hari berikutnya ia tak memberi kabar sedikitpun untukku. Hanya sesekali ia berbicara dengan Ibu lewat sambungan telpon. Aku hanya tau kabar Sila dari Ibu. Semenjak hari itu, Sila dan aku sudah tidak pernah bertemu lagi.
Yang aku tau kabar terakhir darinya adalah bahwa ia akan pindah kerja ke Surabaya. Gadis Bandung itu memang berambisi untuk tinggal di Surabaya. Entah mengapa. Tetapi haruskan sejauh ini ia menghindariku? Tidak rindukah dia kepadaku?
Rima, perempuan yang tidak bersalah itupun sampai saat ini tidak mengetahui hal yang sebenarnya. Yang tersulit adalah ketika aku bersama Rima tetapi hati dan pikiranku jauh melayang ke Sila. Maafkan aku, mungkin maaf ini tidak akan mengobati kepedihan Sila atau Rima.